Rabu, 17 April 2013

Mantra (bagian 2)


_ sebuah mantra, seribu kisah _


" Kullu yaumin ziyaadatan minal ‘ilmi washbah fii bukhuuril fawaaidi "

Petikan syair dalam kitab Ta’lim Al Muta’allim itu telah kudengar sejak masih di bangku SMP. Entah kenapa saat itu tidak ada getaran apapun yang mampu membuatku merasakan kedahsyatan syair itu. Sedemikian bebalnya otakku dan tumpulnya perasaananku terhadap lantunan syair. Setelah bertahun-tahun syair itu tak kudengar,  tiba-tiba syair itu kudengar lagi saat aku duduk di bangku perguruan tinggi. Bahkan syair itu menjelma menjadi sebuah mantra. Mantra yang selalu mengawali pagi hariku.


Setiap pagi, sehabis sholat subuh berjamaah dan halaqoh mantra itu dilantunkan. Halaqoh, kegiatan yang istimewa sebagai salah satu ciri khas dari Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Setiap pagi akan ada seorang santri putra dan seorang santri putri yang menyampaikan makalah tentang kajian suatu ilmu. Tidak hanya ilmu agama sebagaimana ciri khas pesantren saja, melainkan juga tema-tema dari ilmu umum. Seperti filsafat, sains, psikologi, bahasa, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Setelah kedua pemateri selesai menyampaikan makalah tibalah Abah pengasuh menyampaikan ulasan beliau terkait tema. Dalam ulasan beliau selalu terselip mantra dahsyat itu. 


Pada mulanya aku tidak mengerti kenapa beliau selalu mengulang-ulang syair itu bagai sebuah mantra. Aku tidak peduli dan tidak mau tahu, tetapi mantra itu kusimpan baik-baik dalam memori, dengan sebuah keyakinan suatu hari nanti akan mengerti. Hingga keluar dari pesantren, aku tetap belum mengerti sepenuhnya. Energi apa yang bisa membuat syair itu seperti mantra ketika dilafalkan beliau. Namun dalam ketidakmengertian masih kusimpan baik-baik hal-hal yang menurut rasaku penting dan nantinya akan berguna. 


Masih termemori dengan baik  bagaimana beliau begitu semangatnya membangunkan kami untuk sholat subuh dan halaqoh, beliau rela naik turun tangga sampai lantai 4. Dengan gigih beliau meminta santri putri untuk ikut sholat jumat. Dengan gaya persuasif yang profesional beliau meminta kami untuk tidak pelit-pelit saat bersedekah. Begitu detail, dalam, dan bijaknya beliau menanggapi berbagai persoalan secara profesional, anggun dan elegan. Demikian beragamnya ilmu yang beliau kuasai. Sedemikian moderat dan majunya pola pikir beliau. Begitu elok dan cantiknya cara bergaul beliau dengan kami, para santri, anak-anak didiknya. Beliau merupakan salah satu kyai intelektual yang disertasi doktoralnya diuji dan diakui oleh Harvard University. Dan masih termemori dengan baik bagaimana semangat beliau masih terekam sempurna oleh gerak dan bahasa tubuh usia 70 tahun. Sosok beliaulah satu-satunya magnet yang membuatku bertahan hingga 6 tahun.


Enam tahun, waktu yang tidak singkat. Apakah berhasil membuatku menguasai semua ilmu beliau. Tidak. Aku termasuk segolongan santri yang lebih suka mblarah daripada mengaji. Mblarah itu istilah Abah bagi santri yang banyak melanggar dan tidak taat aturan. Selama enam tahun selama itu pula masa mblarahku. Mungkin semua peraturan keamanan telah sukses kulanggar. Dan sebenarnya tak satupun ilmu yang menancap baik yang kuperoleh.


Hanya setelah keluar dari pesantren, mantra itulah yang melekat di benakku. Mantra yang membuatku terbangun dari tidur panjang dan membuatku kembali hidup, benar-benar hidup. Rugikah aku karena masa enam tahun tidak memperoleh apapun. Tentunya gelar ahlul ma’had yang disematkan bagi santri yang nyantri selama 4,5 tahun pun sebenarnya kurang pantas kusandang. Aku lebih pantas mendapat gelar ahlul mblarah, karena reputasi kembalarahanku validitasnya lebih teruji. Namun demikian, aku tidak merasa rugi. Satu mantra itu sudah sangat berarti buatku. Satu mantra yang telah merangkum segalanya.


Aku rindu mantra itu di pagi hari. Mantra yang senantiasa diperdengarkan untuk mengawali hari. Mantra ajaib yang mampu membentuk sosok spiritual dan intelektual sempurna seperti Prof. Dr. K.H Achmad Mudlor, S.H. Profesor, aku rindu mantra itu.



Banyumas, 11 April 2013  

3 komentar: