Sejak kecil sebenarnya saya akrab dengan sakit. Mungkin dalam keluarga yang paling sering sakit adalah saya. Waktu kecil saya punya sakit seperti step tapi bukan. Jadi kalau terjatuh saya pingsan dan gigi terkatup rapat-rapat. Jika gigi sudah bisa dipisahkan baru saya sadar. Menjelang masuk sekolah dasar sakit ini sembuh hanya saja pingsannya masih berlanjut sampai dewasa. Sampai perguruan tinggi saya masih pingsan sewaktu-waktu. Hanya saja saya lebih bisa mengontrol pingsan dengan baik. Artinya saya bisa merasakan perubahan kondisi tubuh ketika akan jatuh pingsan, tinggal memilih untuk membiarkan sensasi itu berkembang terus atau menghentikannya. Pingsan hanya sebentar, kemudian sadar dengan kondisi tubuh yang lebih segar dan lebih baik. Kadang-kadang saya merindukan pingsan karena setelah sadar tubuh menjadi lebih segar. Seperti laptop yang kadangkala butuh di restart. Lama-lama menjelang kelulusan sensasi ketika hendak pingsan menghilang dengan sendirinya. Sebagai anak kampung yang suka blusaukan di sawah atau pekarangan tentunya penyakit gatal-gatal di kulit sangat akrab dengan saya. Sejak kecil pun saya sering gatal-gatal. Kemudian saat kelas 3 MI saya terkena tipus, meskipun masih gejala.
Keluarga saya menyukai masakan pedas, jadi sejak kecil saya
sudah sangat akrab dengan pedas. Meskipun kondisi lambung saya sudah tidak baik
akibat sakit tipus, tetapi saya tetap bandel dan menyukai masakan pedas dipadu
dengan minuman jeruk nipis yang asam. Ditambah lagi sejak SMA saya sangat suka
begadang dan minum kopi yang akan semakin memperburuk kondisi lambung saya.
Jika ada teman yang asyik diajak ngobrol, maka sampai pagi pun saya layani.
Sampai saat kuliah di Malang yang dingin saya sangat sering sakit. Fluktuasi
cuaca yang tidak menentu dan pola hidup yang tidak teratur membuat saya sering
terkena flu, batuk, demam, ulu hati yang nyeri setelah minum kopi dan masuk
angin setiap hari. Mungkin saya memang tidak cocok dengan udara dingin, tetapi saya
tetap mencintai begadang, minum kopi, masakan pedas, minum asam dan kadangkala
terkena asap rokok. Tubuh saya menjadi sangat rentan, tatapi berkat kebandelan
yang saya pelihara membuatnya bisa bertahan. Kebiasaan yang tidak teratur itu
pun membuat paru-paru saya agak infeksi. Hingga dokter memilih untuk memvonis
TBC, meskipun hasil tes dahak, darah, dan urine
saya negatif. Jadi saya harus mengonsumsi obat subsidi pemerintah bagi
penyandang TBC selama 6 bulan. Belum lagi saya terpaksa harus rela mengonsumsi
obat dokter akibat tamu bulanan yang sempat tidak teratur selama beberapa tahun.
Menyedihkan memang.
Dengan riwayat yang seperti itu seharusnya saya berlangganan
dengan dokter dan obat. Namun, saya berusaha sebisanya untuk tidak ke dokter
ketika sakit. Kecuali sangat parah. Saya tidak suka minum obat sejak terkena
sakit tipus sewaktu MI dulu. Membosankan dan melelahkan. Minum obat dan dokter
adalah dua hal yang saya hindari. Jika saya bisa sembuh tidak dengan dokter dan
obat maka saya akan memilihnya meskipun waktu sembuh lebih lama. Seperti sakit
flu, batuk, demam sebisanya saya menghindari obat. Saya memilih untuk istirahat
seharian, minum air putih, vitamin dan madu. Selain membosankan dan melelahkan,
minum obat membuat tubuh saya tergantung dengan zat kimia yang terkandung dalam
obat. Saya berusaha sedapatnya mengurangi.
Sayangnya saat kecelakaan saya harus mengonsumsi obat dalam
jangka waktu yang lumayan lama. Seandainya bisa memilih, saya tidak akan
mengonsumsi obat berbahan zat kimia. Nyatanya saya berobat ke dokter bukan ke
tukang sulap, jadi saya diberi obat dalam jumlah yang tidak sedikit dalam kurun
waktu berbulan-bulan. Menyebalkan, karena sebenarnya saya menghindari dokter
dan obat. Dalam pandangan saya penyembuhan dokter sangat lamban. Bayangkan
saja, kaki dan tangan patah kemudian dioperasi disambung dengan pen dan diberi
obat. Setiap kali kontrol diberi obat lagi bahkan kadang diminta bergerak tanpa
diberi aba-aba dulu. Untuk kasus patah kaki mungkin langsung bisa menggunakan
kruk tetapi untuk saya harus menunggu 4 bulan untuk menguatkan tulang tangan
baru boleh memakai kruk. Saya bukan orang yang telaten dengan semua petunjuk
dokter, bukan karena saya sudah tidak sabar ingin berlari, tetapi saya sempat
kesal dengan dokter. Pernah suatu ketika
saat kontrol, saya langsung diberi obat begitu saja tanpa ditanya bagaimana
perkembangan luka. Apakah obat benar-benar bisa mengkomunikasikan kondisi saya.
Nyeri-nyeri, otot yang terpelintir, aliran darah yang tidak lancar, badan yang
masih kaku apa benar bisa dikembalikan dengan obat. Saya kurang begitu percaya
sehingga saya nekat untuk memanggil tukang pijat. Tukang pijat itulah yang
membetulkan otot dan urat-urat yang terpelintir, tentunya dia tidak berani
memijit daerah luka. Berkat pijitannya aliran darah tubuh saya lebih lancar dan
badan lebih ringan dan nyaman. Dengan demikian saya lebih mudah untuk melatih
kembali otot tubuh untuk bergerak.
Bagi saya, orang yang jatuh dengan benturan yang keras
meskipun yang terluka adalah kakinya tetapi sebenarnya aliran darah ke seluruh
tubuhnya mengalami hambatan. Sehingga yang perlu diperhatikan tidak hanya
bagian yang luka tetapi seluruh tubuh perlu dikembalikan secara pelan-pelan.
Hal inilah yang tidak saya dapatkan dari proses yang dilakukan dokter. Dokter
hanya mengoperasi, memberi obat kemudian menuntut untuk menggerakan tanpa
mendeteksi apakah otot tubuh yang digunakan untuk begerak sudah tidak ada yang
terpelintir. Tentunya jika masih ada yang terpelintir, selain rasanya lebih
sakit dan bukankah akan merusak tubuh juga. Jika boleh saya umpamakan dengan
matematika maka metode dokter seperti perolehan angka 4 yang sebatas 2+2.
Padahal bisa saja 0+4, 1+3, 3+1, dan 4+0. Banyak kemungkinan kan?
Untuk kasus patah tulang, kunci kesembuhan ada pada pasien.
Banyak kasus dimana pasien tidak bisa kembali menggerakan tubuhnya dengan
sempurna. Hal itu terjadi karena pasien malas berlatih bergerak. Bisa karena
tidak mampu manahan sakit, atau sudah terlena dengan istirahat yang panjang, jadi
karena terbiasa tidak bergerak maka malas menggerakan. Hal ini sangat berbahaya
apalagi tulang yang tidak lagi muda. Jika kondisi otot sudah mengeras maka
sudah sulit untuk dilatih. Jika pasien tidak mau berlatih maka dokter akan
membantunya dengan obat. Lagi-lagi obat yang berkomunikasi dengan otot. Itulah
maka saya berusaha berlatih sebaik-baiknya supaya semakin sedikit mengonsumsi
obat, sampai-sampai perawat saya khawatir karena gerakan saya sudah terlalu
maju untuk jenis sakit yang sama dan terkesan serampangan, meskipun sebenarnya
masih dalam koridor dokter. Dia khawatir dengan kondisi tulang saya. Tetapi dengan
demikian perkembangan saya lebih baik. Sebenarnya berkat bantuan dukun pijat
juga yang berhasil melancarkan aliran darah di tempat-tempat yang terkena imbas
patah tulang. Saya juga sempat protes dalam hati dengan dokter karena suatu
ketika saat kontrol diminta untuk merenggangkan jari-jari tangan dengan
sempurna dan saya sudah bisa. Kemudian saat kontrol berikutnya saya diminta
untuk hal serupa. Saya tersinggung sebenarnya. Bukankah itu sudah bulan lalu,
seharusnya perkembangan gerak saya sudah lebih baik kenapa saya tidak diminta
menunjukan perkembangan gerakan selanjutnya. Saya kesal dengan dokter.
Seringkali saat kontrol sayalah yang lebih cerewet dengan
dokter untuk menanyakan perkembangan luka. Menanyakan kemungkianan-kemungkinan
yang terjadi jika gerakan berlebihan dan mengkonsultasikan perkembangan dan
hambatan yang saya rasakan. Saat pemberian obat saya bernegosiasi
untuk tidak mengonsumsi obat yang sudah tidak diperlukan meskipun secara umum
seharusnya masih mengonsumsi. Saya memilih untuk bernegosiasi dengan dokter,
selain mengurangi konsumsi obat juga menghemat biaya. Ah, saya pasien yang
cerewet memang.
Sebenarnya saya tidak terbiasa untuk mengalihkan
tanggungjawab kondisi badan saya pada orang lain. Saya harus benar-benar
mengetahui dan memahami kondisi badan apalagi ketika sakit. Ini adalah badan
saya dan sayalah yang merasakan sakit. Betapa bandelnya saya memang. Dengan
memahami kondisi badan, saya akan bisa mengukur dan menakar aktifitas saya saat
sakit. Hanya terhadap sakit yang tidak saya kenal baik, saya akan berusaha
mengonsultasikannya dengan pihak lain salah satunya dokter sampai saya benar-benar
memahami dimana positifnya dan dimana negatifnya.
Mungkin selamanya saya tidak
bisa berdamai dengan dokter apalagi dokter yang memonopoli kondisi kesehatan
saya. Bagi saya kesembuhan orang sakit adalah X factor. Selain obat bisa berupa kondisi psikis, perawatan
keluarga, keikhlasan untuk menerima kondisi fisiknya, sikap optimis dan semangat
untuk sembuh, pemahaman terhadap kondisi tubuh serta doa. Diatas itu semua masih
ada Tuhan sebagai pemilik sakit sekaligus pemilik obat. Jadi saat sakit, saya
akan berusaha mencari dan memahami X
factor sebaik-baiknya.
Banyumas, 15 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar