Bagi penggemar cerita silat tentu tidak asing dengan nama
Singgih Hadi Mintardja atau biasa disebut SH Mintardja. Salah satu masterpiece beliau yang kubaca
berulang-ulang adalah Nagasasra dan Sabukinten. Sebuah cerita berlatar kerajaan
Demak di masa Sultan Trenggana dan masa kecil Jaka Tingkir serta sebuah analog
cerita pewayangan yang sangat terkenal, Baratayudha.
Membincang Baratayudha tentu tidak bisa lepas dari para
pelakunya yakni para Pandawa yang berjumlah 5 orang dan Kurawa yang berjumlah
100 orang. Sebuah pertikaian antar saudara. Banyak sekali kisah-kisah sejarah
yang memakai analog Baratayudha.
Dalam novelnya yang satu ini pun SH Mintardja dengan sukses
memasukan analog Baratayudha dengan sedikit perubahan. Pertikaian keluarga Ki
Ageng Sora Dipayana yakni antara dua putranya serta dua cucunya, Ki Ageng Gajah
Sora dan Ki Ageng Lembu Sora serta antara Arya Salaka dengan Sawung Sariti. Ada
sedikit perbedaan dalam cerita ini dimana SH Mintardja memasukan unsur yang
tidak ada pada perang Baratayudha secara umum yakni segerombolan perampok yang
ikut bertikai.
Pertikaian ini berpangkal pada tanah perdikan warisan ayah
mereka yakni Ki Ageng Sora Dipayana yang telah membagi tanah perdikan yang
dahulu dipimpinnya menjadi dua yakni Banyubiru yang diserahkan pada anak
tertuanya yaitu Ki Ageng Gajah Sora dan tanah perdikan Pamingit yang diserahkan
pada anak termudanya yakni Ki Ageng Lembu Sora. Sebagai orang yang serakah Ki
Ageng Lembu Sora ingin memiliki kedua tanah perdikan tersebut seutuhnya hingga
ia bekerjasama dengan golongan hitam untuk menyingkirkan kakaknya serta keponakannya,
Arya Salaka.
Baratayudha hampir terjadi saat Arya Salaka telah dewasa dan
berusaha merebut kembali tanah perdikan Banyubiru yang menjadi haknya.
Sayangnya golongan hitam pun ikut bermain dalam pertikaian ini dengan harapan
mereka bisa mengambil keuntungan dari pertikaian keluarga tersebut. Namun
akhirnya dengan kejernihan hatinya, Arya
Salaka justru membantu pamannya untuk ikut menumpas golongan hitam. Perang
Baratayudha pun tidak terjadi dan akhirnya golongan hitam tumpas oleh golongan
yang menyeru pada kebenaran.
Dalam setiap cerita Baratayudha dengan berbagai versinya,
memiliki pesan yang sama. Penulis maupun perang Baratayudha itu sendiri ingin
menyampaikan bahwa pertikaian antara kebaikan dan keburukan selalu berakhir
dengan kemenangan di pihak yang membela kebaikan. Yang benar akan selalu menang
meskipun betapa menderita kondisinya. Betapapun lama penderitaan yang dilampaui
pastilah akan menggapai kemenagan suatu saat. Penderitaan, keprihatinan,
kesabaran untuk selalu berada di jalan yang benar suatu saat akan membawa pada
kemenangan.
Sebenarnya masih relevankah cerita-cerita dengan pesan moral
seperti itu untuk diterapkan pada saat sekarang. Siapa yang membela kebenaran,
berlaku prihatin, bersabar, selalu berada dalam kebaikan dan kebenaran akan
menemui kemenangan. Apakah yang menjadi takaran kemenangan saat ini. Kekuasaankah,
jabatankah, harta bendakah. Bukankah sekarang yang berlaku tidak benar justru
yang akan menang. Lalu kemenangan apakah yang sebenarnya relevan untuk jaman
seperti sekarang ini?
Banyumas, 2 April 2013; 09:33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar