Selasa, 02 April 2013

Simbol Kemenangan ??



Bagi penggemar cerita silat tentu tidak asing dengan nama Singgih Hadi Mintardja atau biasa disebut SH Mintardja. Salah satu masterpiece beliau yang kubaca berulang-ulang adalah Nagasasra dan Sabukinten. Sebuah cerita berlatar kerajaan Demak di masa Sultan Trenggana dan masa kecil Jaka Tingkir serta sebuah analog cerita pewayangan yang sangat terkenal, Baratayudha. 

Membincang Baratayudha tentu tidak bisa lepas dari para pelakunya yakni para Pandawa yang berjumlah 5 orang dan Kurawa yang berjumlah 100 orang. Sebuah pertikaian antar saudara. Banyak sekali kisah-kisah sejarah yang memakai analog Baratayudha.

Dalam novelnya yang satu ini pun SH Mintardja dengan sukses memasukan analog Baratayudha dengan sedikit perubahan. Pertikaian keluarga Ki Ageng Sora Dipayana yakni antara dua putranya serta dua cucunya, Ki Ageng Gajah Sora dan Ki Ageng Lembu Sora serta antara Arya Salaka dengan Sawung Sariti. Ada sedikit perbedaan dalam cerita ini dimana SH Mintardja memasukan unsur yang tidak ada pada perang Baratayudha secara umum yakni segerombolan perampok yang ikut bertikai.

Pertikaian ini berpangkal pada tanah perdikan warisan ayah mereka yakni Ki Ageng Sora Dipayana yang telah membagi tanah perdikan yang dahulu dipimpinnya menjadi dua yakni Banyubiru yang diserahkan pada anak tertuanya yaitu Ki Ageng Gajah Sora dan tanah perdikan Pamingit yang diserahkan pada anak termudanya yakni Ki Ageng Lembu Sora. Sebagai orang yang serakah Ki Ageng Lembu Sora ingin memiliki kedua tanah perdikan tersebut seutuhnya hingga ia bekerjasama dengan golongan hitam untuk menyingkirkan kakaknya serta keponakannya, Arya Salaka. 

Baratayudha hampir terjadi saat Arya Salaka telah dewasa dan berusaha merebut kembali tanah perdikan Banyubiru yang menjadi haknya. Sayangnya golongan hitam pun ikut bermain dalam pertikaian ini dengan harapan mereka bisa mengambil keuntungan dari pertikaian keluarga tersebut. Namun akhirnya dengan kejernihan hatinya,  Arya Salaka justru membantu pamannya untuk ikut menumpas golongan hitam. Perang Baratayudha pun tidak terjadi dan akhirnya golongan hitam tumpas oleh golongan yang menyeru pada kebenaran.

Dalam setiap cerita Baratayudha dengan berbagai versinya, memiliki pesan yang sama. Penulis maupun perang Baratayudha itu sendiri ingin menyampaikan bahwa pertikaian antara kebaikan dan keburukan selalu berakhir dengan kemenangan di pihak yang membela kebaikan. Yang benar akan selalu menang meskipun betapa menderita kondisinya. Betapapun lama penderitaan yang dilampaui pastilah akan menggapai kemenagan suatu saat. Penderitaan, keprihatinan, kesabaran untuk selalu berada di jalan yang benar suatu saat akan membawa pada kemenangan. 

Sebenarnya masih relevankah cerita-cerita dengan pesan moral seperti itu untuk diterapkan pada saat sekarang. Siapa yang membela kebenaran, berlaku prihatin, bersabar, selalu berada dalam kebaikan dan kebenaran akan menemui kemenangan. Apakah yang menjadi takaran kemenangan saat ini. Kekuasaankah, jabatankah, harta bendakah. Bukankah sekarang yang berlaku tidak benar justru yang akan menang. Lalu kemenangan apakah yang sebenarnya relevan untuk jaman seperti sekarang ini?


Banyumas, 2 April 2013; 09:33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar