Memiliki blog adalah salah satu keinginan saya sejak lama. Saya orang yang gaptek dan lelet untuk memahami teknologi, alasan itulah yang semakin membuat jarak antara keinginan dan punya blog. Pertengahan 2010 saya sempat membuat blog, tetapi belum saya isi dan saya telah lupa dengan email dan passwordnya. Saya kesal, akhirnya tertunda lagi keinginan saya.
Saya sangat bersyukur akhirnya diberi alasan untuk
beristirahat dalam waktu yang lama. Dalam masa istirahat itulah tiba-tiba
muncul keinginan saya untuk membuat blog. Saya menunggu tangan kanan saya
benar-benar bisa digunakan untuk mengetik. Sambil menunggu saya memikirkan
alasan apa yang akan saya ketengahkan mengapa ingin membuat blog. Blog macam
apa yang ingin saya buat, ingin saya bagi. Saya berselancar ke berbagai blog
yang ada. Kenapa blognya bisa begitu ramai pengunjung, konten apa yang
ditawarkan sehingga begitu diminati. Akhirnya saya memilih beberapa blog
sebagai acuan yang menurut saya layak untuk dijadikan contoh. Selain isi blog
yang bergizi, tampilan yang simple
tetapi cantik, dan menunjukkan warna pemiliknya.
Blog-blog yang saya tandai menarik untuk dibaca ternyata
memiliki penulis yang secara jujur mengemukakan suara hatinya. Dia menuliskan
pemikirannya seperti bercerita. Menceritakan apapun yang dialaminya atau
pandangannya terhadap suatu permasalahan. Dan itu bagi saya mencerahkan dan
sebuah tindakan yang berani. Penulisnya seperti membuka lapis demi lapis
tentang dirinya dan membiarkan orang lain membaca dan mengetahuinya. Saya kira
tidak semua orang berani untuk melakukannya.
Akhirnya saya mengerti satu hal, bahwa seorang penulis
adalah tidak hanya menuliskan apa yang ada di pikirannya semata tetapi justru
menyuarakan ‘hati’ yang sudah mendarah daging dengan tubuh. Bukan menyuarakan
bungkus tetapi menyuarakan isi. Orang tertarik dan jatuh cinta terhadap sebuah
tulisan saya kira bukan karena kata-kata yang dirangkai indah tetapi isi yang
ditawarkan benar-benar mencerahkan dan bergizi.
Saya sempatkan untuk melongok ke dalam diri saya dan menakar
keberanian saya. Beranikah saya mengupas lapis demi lapis yang selama ini
menyelubungi jiwa saya. apakah hal itu tidak memalukan. Masih saja ada keraguan
untuk melakukannya. Kemudian muncul pertanyaan, apakah para penulis yang telah
mampu dan berani membuka lapis demi lapisnya kemudian tercoreng namanya. Ternyata
tidak bahkan banyak yang menjadi semakin harum. Ternyata saya menginsyafi satu
hal. Menuang isi hati bukanlah dengan luapan emosi tetapi isi hati yang telah
terolah, tertransformasikan dari bentuk menjadi isi. Ibarat buah ia adalah buah
yang telah matang, sehingga meskipun pada dasarnya rasa buah itu adalah asam tetapi
jika telah matang rasa asamnya menyegarkan.
Itulah yang akan saya tanam. Sebuah benih yang telah siap
bertemu dengan tanah subur untuk disemai. Sebentuk isi yang telah siap
dinikmati. Segenggam rindu yang telah siap bertemu. Bertemu kata dan bahasa
yang menyajikan makna. Saya tidak peduli lagi apakah nantinya ada orang lain
yang membacanya atau apakah dengan seperti
ini saya telah menjadi penulis atau belum. Saya tidak peduli. Yang saya
pedulikan adalah saya menulis. Membuka lapis demi lapis hati saya, mengurai
satu demi satu keruwetan-keruwetan pikiran dan menjawab satu demi satu pertanyaan-pertanyaan
yang kerap menghantui.
Saya menulis bagai terapi hati dan otak. Dengan menuliskan
kegelisahan-kegelisahan, ide-ide yang telah mengonggok terlalu lama, hati dan
otak saya lebih ringan. Lebih jernih. Sebuah pengakuan telah dirayakan. Helai demi helai kabut telah menyingkap. Saya tahu
kegelisahan yang telah saya singkap akan menimbulkan kegelisahan-kegelisahan
baru. Namun, kali ini saya tidak takut, karena mendadak gelisah terlihat lebih
sexy. Kegelisahan hati itulah yang membuat saya membutuhkan terapi yang bernama
menulis. Saya tidak lagi peduli pada keinginan saya beberapa tahun silam untuk
menjadi penulis. Apakah nantinya buku saya akan terbit ataukah karya saya akan
muncul di media masa. Saya tidak peduli. Yang jelas saya menikmati pertemuan
ini. Pertemuan alam abstrak bernama hati dan akal yang dirundung gelisah
bertahun-tahun dengan alat yang bernama kata dan bahasa. Sunggguh seperti
gerimis yang mengguyur bumi yang kering bertahun tahun. Menyegarkan. Dan ada
seseorang yang harus mendapat perayaan terimakasih.
Menulislah, menulislah, menulislah..!
Banyumas, 22 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar