Senin, 22 April 2013

Menulis, Sebuah Perayaan Pertemuan


Memiliki blog adalah salah satu keinginan saya sejak lama. Saya orang yang gaptek dan lelet untuk  memahami teknologi, alasan itulah yang semakin membuat jarak antara keinginan dan punya blog. Pertengahan 2010 saya sempat membuat blog, tetapi belum saya isi dan saya telah lupa dengan email dan passwordnya. Saya kesal, akhirnya tertunda lagi keinginan saya. 

Saya sangat bersyukur akhirnya diberi alasan untuk beristirahat dalam waktu yang lama. Dalam masa istirahat itulah tiba-tiba muncul keinginan saya untuk membuat blog. Saya menunggu tangan kanan saya benar-benar bisa digunakan untuk mengetik. Sambil menunggu saya memikirkan alasan apa yang akan saya ketengahkan mengapa ingin membuat blog. Blog macam apa yang ingin saya buat, ingin saya bagi. Saya berselancar ke berbagai blog yang ada. Kenapa blognya bisa begitu ramai pengunjung, konten apa yang ditawarkan sehingga begitu diminati. Akhirnya saya memilih beberapa blog sebagai acuan yang menurut saya layak untuk dijadikan contoh. Selain isi blog yang bergizi, tampilan yang simple tetapi cantik, dan menunjukkan warna pemiliknya. 

Blog-blog yang saya tandai menarik untuk dibaca ternyata memiliki penulis yang secara jujur mengemukakan suara hatinya. Dia menuliskan pemikirannya seperti bercerita. Menceritakan apapun yang dialaminya atau pandangannya terhadap suatu permasalahan. Dan itu bagi saya mencerahkan dan sebuah tindakan yang berani. Penulisnya seperti membuka lapis demi lapis tentang dirinya dan membiarkan orang lain membaca dan mengetahuinya. Saya kira tidak semua orang berani untuk melakukannya.

Akhirnya saya mengerti satu hal, bahwa seorang penulis adalah tidak hanya menuliskan apa yang ada di pikirannya semata tetapi justru menyuarakan ‘hati’ yang sudah mendarah daging dengan tubuh. Bukan menyuarakan bungkus tetapi menyuarakan isi. Orang tertarik dan jatuh cinta terhadap sebuah tulisan saya kira bukan karena kata-kata yang dirangkai indah tetapi isi yang ditawarkan benar-benar mencerahkan dan bergizi. 

Saya sempatkan untuk melongok ke dalam diri saya dan menakar keberanian saya. Beranikah saya mengupas lapis demi lapis yang selama ini menyelubungi jiwa saya. apakah hal itu tidak memalukan. Masih saja ada keraguan untuk melakukannya. Kemudian muncul pertanyaan, apakah para penulis yang telah mampu dan berani membuka lapis demi lapisnya kemudian tercoreng namanya. Ternyata tidak bahkan banyak yang menjadi semakin harum. Ternyata saya menginsyafi satu hal. Menuang isi hati bukanlah dengan luapan emosi tetapi isi hati yang telah terolah, tertransformasikan dari bentuk menjadi isi. Ibarat buah ia adalah buah yang telah matang, sehingga meskipun pada dasarnya rasa buah itu adalah asam tetapi jika telah matang rasa asamnya menyegarkan. 

Itulah yang akan saya tanam. Sebuah benih yang telah siap bertemu dengan tanah subur untuk disemai. Sebentuk isi yang telah siap dinikmati. Segenggam rindu yang telah siap bertemu. Bertemu kata dan bahasa yang menyajikan makna. Saya tidak peduli lagi apakah nantinya ada orang lain yang membacanya atau apakah dengan seperti  ini saya telah menjadi penulis atau belum. Saya tidak peduli. Yang saya pedulikan adalah saya menulis. Membuka lapis demi lapis hati saya, mengurai satu demi satu keruwetan-keruwetan pikiran dan menjawab satu demi satu pertanyaan-pertanyaan yang kerap menghantui. 

Saya menulis bagai terapi hati dan otak. Dengan menuliskan kegelisahan-kegelisahan, ide-ide yang telah mengonggok terlalu lama, hati dan otak saya lebih ringan. Lebih jernih. Sebuah pengakuan telah dirayakan.  Helai demi helai kabut telah menyingkap. Saya tahu kegelisahan yang telah saya singkap akan menimbulkan kegelisahan-kegelisahan baru. Namun, kali ini saya tidak takut, karena mendadak gelisah terlihat lebih sexy. Kegelisahan hati itulah yang membuat saya membutuhkan terapi yang bernama menulis. Saya tidak lagi peduli pada keinginan saya beberapa tahun silam untuk menjadi penulis. Apakah nantinya buku saya akan terbit ataukah karya saya akan muncul di media masa. Saya tidak peduli. Yang jelas saya menikmati pertemuan ini. Pertemuan alam abstrak bernama hati dan akal yang dirundung gelisah bertahun-tahun dengan alat yang bernama kata dan bahasa. Sunggguh seperti gerimis yang mengguyur bumi yang kering bertahun tahun. Menyegarkan. Dan ada seseorang yang harus mendapat perayaan terimakasih.




















Menulislah, menulislah, menulislah..!

Banyumas, 22 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar