Jumat, 22 Maret 2013

Ken Dedes - Ibu Raja-Raja Jawa



Ken Dedes berasal dari desa Panawijen, putri seorang pertapa bernama Mpu Purwa. Saat Mpu Purwa sedang keluar rumah, seorang akuwu bernama Tunggul Ametung bertemu Ken Dedes dan langsung jatuh hati pada kecantikan gadis Panawijen itu. Tunggul Ametung bermaksud mempersunting Ken Dedes. Ken Dedes memintanya menunggu karena ayahnya sedang keluar, tetapi Sang Akuwu tidak sabar akhirnya Ken Dedes dilarikan ke Tumapel dan diperistri. Mengetahui putrinya diculik, Mpu Purwa marah dan mengutuk siapapun yang mengawini putrinya maka akan celaka akibat kecantikan Ken Dedes.

Tunggul Ametung memiliki seorang pengawal bernama Ken Arok. Tersebutlah saat itu Ken Dedes turun dari kereta dan angin bertiup mempermainkan kainnya hingga tersingkap. Semua abdinya kontan tertunduk, tetapi tidak dengan Ken Arok karena ia melihat cahaya di betis junjungannya yang cantik jelita. Sepulang dinasnya ia segera memacu kudanya menemui gurunya, seorang begawan dari India bernama Lohgawe. Ken Arok menceritkan apa yang dilihatnya. Wanita seperti itu adalah seorang Nariswari atau wanita utama yang akan menurukan raja-raja. Siapapun yang mengawininya akan menjadi maharaja. Ken Arok tertarik dengan penjelasan Lohgawe dan berniat menyingkirkan Akuwu Tunggul Ametung. 

Singkat cerita Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung dengan keris kutukan buatan Mpu Gandring dan menjadikan Kebo Ijo sebagai kambing hitamnya. Saat itu Ken Dedes sedang mengandung anak Tunggul Ametung dan ia tahu kalau pembunuh suaminya adalah Ken Arok bukan Kebo Ijo. Akan tetapi, Ken Dedes tetap bersedia dinikahi oleh pembunuh suaminya dan bahkan akhirnya Ken Arok berhasil menjadi akuwu di Tumapel. Dalam perjalannannya Tumapel berhasil menjadi besar dan berdirilah kerajaan Singosari tahun 1222. Ken Arok bergelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Sejak saat itu lahirlah dinasti Ken Arok-Ken Dedes yang menurunkan raja-raja tanah Jawa. Meskipun kerajaan telah berganti-ganti tetapi tetap keturunan Ken Dedes yang memerintah hingga sekarang.

Kerajaan Singasari yang berdiri tahun 1222 hingga 1292 diperintah oleh keturunan Ken Dedes, kecuali pada masa singkat, yaitu saat pemerintahan Tohjaya. Anusapati, Ranggawuni, dan Kertanegara adalah keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung.

Ketika kerajaan Singasari runtuh dan digantikan oleh kerajaan Majapahit yang berlangsung selama hampir 200 tahun keturunan Ken Dedeslah yang memerintah. Raden Wijaya sebagai pendiri Majapahit merupakan keturunan Ken Dedes dengan Ken Arok.

Kerajaan Majapahit digantikan oleh kerajaan Demak. Pemerintah dipegang oleh Raden Patah, dilanjutkan Adipati Unus, dan diakhiri Sultan Trenggana yang adalah keturunan Ken Dedes. Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya, dan tentunya dalam garis keturunan Raden Wijaya.

Kerajaan Demak digantikan kerajaan Pajang yang diperintah oleh Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Jaka Tingkir adalah anak Ki Ageng Pengging yang merupakan keturunan raja Majapahit sebagaimana Raden Patah.

Mungkin dengan runtuhnya Pajang digantikan oleh Mataram seakan-akan keturunan Ken Dedes tidak lagi memerintah di tanah Jawa. Sebab Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati, adalah anak dari Ki Gede Pemanahan , yang bukan keturunan raja. Akan tetapi ternyata Ki Ageng Sela, kakek buyut dari Sutawijaya adalah keturunan Bondan Kejawan yang adalah putra dari Prabu Brawijaya juga. Dengan demikiah pada masa Mataram tetaplah keturunan Ken Dedes yang memerintah di tanah Jawa.

Keturunan Ken Dedes tetap memerintah hingga kini, karena Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Jogjakarta sama-sama keturunan Panembahan Senapati. Dan dalam keadaan apapun kasunanan maupun kasultanan tetap kerajaan karena ada kenaikan tahta dan peringatan tahta serta ada masyarakat yang mengakuinya sebagai raja.

Betapapun ada juga beberapa versi sejarah yang mengatakan Ken Dedes adalah wanita pembawa celaka sesuai kutukan ayahnya, kecantikannya akan membawa celaka. Memang terbukti untuk mendapatkannya banyak pembunuhan menyertainya. Penguasaan kekuasaan beserta segala isinya termasuk wanita cantik yang dalam hal ini wanita hanya diperlakukan sebagai pemuas nafsu.

Meskipun cantik dan memiliki cahaya Nariswari, tetapi percintaan Ken Dedes tidak bisa disebut sempurna dari sudut pandang seorang wanita. Pernikahan pertamanya dengan Tunggul Ametung adalah sebuah keterpaksaan dan dia harus mempersiapkan hatinya untuk bisa menerima Tunggul Ametung. Disaat sudah mulai menerima Tunggul Ametung datanglah Ken Arok yang lebih menarik dan membuatnya jatuh hati. Ketika akhirnya Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok dan Ken Arok akan memperisterinya ternyata Ken Arok sudah memiliki isteri bernama Ken Umang. Ken Dedes mengalami jatuh hati sekaligus patah hati.

Akan tetapi menilik raja-raja Jawa yang berasal dari keturunananya, benarlah bahwa Ken Dedes wanita dari Panawijen (sekarang Polowijen Malang) ibu dari para raja. Ibu dari para pemimpin dan penguasa tanah Jawa.

Apakah titel Nariswari hanya berlaku bagi wanita Panawijen satu itu saja? Tentu tidak. Dalam konteks sekarang seorang wanita yang menurunkan para raja bolehlah selanjutnya kita sebut sebagai seorang ibu yang memiliki anak-anak yang kesemuanya menjadi raja. Raja adalah pemilik kekuasaan tertinggi pada saat itu. Titahnya tidak dapat ditolak. Untuk sekarang bolehlah dikatakan raja adalah seorang pemimpin. Seorang yang bisa memimpin, tidak hanya memimpin orang lain tetapi tentu tidak kalah penting seorang yang mampu memimpin dirinya sendiri. Kemampuan memimpin diri sendiri adalah kemampuan mengendalikan nafsu dan kemampuan menggunakan akal dan hati secara seimbang. Ia menjadi raja atas dirinya sendiri. Bukankah setiap ibu akan memiliki anak yang akan dididik sebagai pemimpin bagi dirinya dan orang lain. Dan bukankah kemampuan memimpin diri atas nafsu dan memimpin keseimbangan akal dan hati adalah kemampuan manusia yang tertinggi dan tersulit. Dan bukankah salah satu peletak dasarnya adalah seorang wanita yang disebut ibu.

Akupun seorang wanita, seorang ibu. Ibu dari anak-anakku, para calon raja, calon pemimpin. Bukan hanya bagi tanah Jawa tetapi bagi ibu pertiwi yang bernama Indonesia. Aku yakin, akupun seorang Nariswari meskipun bukan bernama Ken Dedes. Bagaimana dengan Anda?


Bms, 22 Maret 2013; 23:00

Kado Itu Bernama Lelaki Sederhana



Hari ini aku ulang tahun. Tahun-tahun sebelumnya aku kadang membuat ritual yang kulakukan sendiri. Misalnya aku pernah menguras bak mandi saat jam 12 malam ulang tahunku. Aku pernah naik ke loteng dan melihat bulan semalaman. Pernah juga memotong rambutku hingga cepak. Meskipun aku tidak pernah berharap ada yang menelfonku di malam hari atau mengucapkan selamat tepat jam 00:01 misalnya, aku senang menikmati sensasi sebelum jam 12 malam dan setelah jam 12 malam. Ada hening yang ingin kunikmati sendiri, tanpa gangguan dari siapapun. Hanya ada aku dan Tuhan. Seperti semalam, jam-jam itu kulewatkan dengan berdiam untuk berdoa. Sebuah doa yang panjang. Sebuah rasa syukur yang tak putus-putus. Karena Tuhan mempertemukanku dengan  lelaki sederhana untuk hidupku. Lelaki sederhana yang sangat memberi arti dalam hidupku. Biarlah cukup aku seorang yang memahami pengertian dan definisi lelaki sederhana versiku. Dengarkanlah penuturanku ini.

Lelaki sederhana pertama adalah yang paling lama kukenal. Lelaki inilah yang pertama kali mengajariku untuk menjadi wanita yang tangguh, kuat, tegas, pantang menyerah, bahkan aku menjadi wanita yang tidak mau kalah. Dia mengajariku untuk berani seperti lelaki meskipun aku adalah seorang perempuan. Tekad hidupnya kuat terutama untuk memperjuangkan sesuatu. Dia akan menjadi pribadi yang sangat konsisten dan disiplin. 

Lelaki sederhana kedua adalah lelaki yang membuatku mencintai ilmu. Gilalah terhadap ilmu, begitu selalu pesannya. Aku terpesona akan semangat hidupnya terhadap ilmu. Dia akan mempelajari ilmu apapun yang sedang dibutuhkannya meskipun ilmu itu bertolak belakang dengan ilmu yang telah dikuasai sebelumnya. Mantra yang kerap diperdengarkan padaku adalah sebah syair petikan dalam kitab Ta’lim Al Muta’alim. Likulli yaumin ziyaadatan minal ‘ilmi washbah fii bukhuuril fawaaidi - setiap hari bertambah ilmu dan bergelimang dalam lautan berfaidah. Kenangan favoritku adalah saat ia mengataiku bodoh. Aku senang sekali, karena rupanya aku harus lebih banyak belajar lagi.

Lelaki sederhana ketiga adalah seorang lelaki yang mengajariku untuk menghargai perbedaan. Bahkan dia tinggal di lingkungan yang sangat berbeda dengannya dan ia sangat menghormati tetangga-tetangganya. Hargailah perbedaan karna perbedaan adalah Rahmat Tuhan, itu yang ia dengungkan. Betapapun berbeda pilihannya dengan orang lain, dia menghargai dan semakin menambah keyakinan atas pilihannya.

Ketiga lelaki itu memiliki semangat hidup yang tinggi, seorang pembelajar dan pejuang sejati. Tangguh, kuat, pantang menyerah meskipun aku tahu banyak kecurangan dan kehianatan yang dialami dalam hidupnya. Tetapi mereka tetap tangguh dan semakin kukuh. Namun, tetap memiliki hati yang tulus dan lembut.

Dan masih ada seorang lelaki sederhana lagi. Dia masih muda dibanding yang lainnya. Satu kalimat sederhana untuknya. Dia adalah lelaki sederhana yang berhasil merampas dan memiliki hatiku. Seutuhnya.


Bms, 22 Maret 2013; 11:23

Nb. Aku tidak akan memberitahukan nama-nama mereka. Bolehlah ditebak-tebak, tetapi tebak dihati dan simpanlah dihati. Dan aku akan tetap menyebut mereka dengan sebutan; Lelaki Sederhana.

Selasa, 19 Maret 2013

Penghianatan Film Habibie & Ainun



Beberapa hari yang lalu saya melihat film Habibie & Ainun. Sudah telat memang, karena saya tidak bisa melihat di bioskop dan harus menunggu copian dari saudara sepupu.

Saya menangis saat menonton film tersebut. Bukan karena kisah cinta Pak Habibie dan Ibu Ainun yang membuat saya berair mata, tetapi penghianatan yang telah dialami Pak Habibie. Seorang Habibie yang berotak cemerlang bahkan negara Jerman pun sangat menghormati kecemerlangannya, ternyata di negeri sendiri tidak mampu berbuat apa-apa. Kecerdasannya seolah tidak ada harganya. Sangat memilukan.

Bagaimanapun penghargaan, pengakuan, imbalan yang setimpal atas kemampuan yang dimiliki merupakan kebutuhan dasar manusia. Saya tidak dapat membayangkan betapa ego kita akan terluka berat saat kemampuan kita, atau apa yang kita punyai tidak mendapat apresiasi positif dari orang lain. Menyakitkan. Sebuah penghianatan hidup. Apalagi jika penghianatan itu datang dari orang-orang yang kita cintai, orang-orang yang sangat dekat dengan kita. Sangat menyakitkan.

Namun sayangnya, segala sesuatu yang besar, yang sukses, yang sempurna selalu butuh penghianatan yang juga sama besarnya sama suksesnya dan sama sempurnanya dari orang-orang yang kita cintai. Setimpal memang, tetapi tetap menyakitkan. Dan kesakitan itu membat kita harus menelan pil pahit sebagai obatnya. Semacam jamu yang pahit tetapi menyehatkan. Tetapi saya yakin, kesakitan itu akan menimbulkan  rasa setia. Setia terhadap cita-cita, setia terhadap impian, dan setia terhadap kesetiaan itu sendiri. Ingin menjadi besar, bersiaplah untuk penghianatan, dalam bentuk apapun.

Banyumas, 19 maret 2013 ; 00:42

Selasa, 12 Maret 2013

Suky Zhang Hingga Pendidikan Ala China


ngopi bareng suky

Namanya Suky Zhang, kewarganegaraan Cina usianya masih 19 tahun. Aku mengenalnya pertengahan tahun lalu kira-kira Juli 2012. Dia datang ke pesantren Nurul Ummahat, Kotagede untuk mengajar. Singkatnya student exchange, dan dia ditempatkan di Indonesia, di Nurul Ummahat. Dia lucu, imut, dan cantik. Awalnya dia perlu adaptasi masalah bangun pagi, dia biasa bangun jam 8 pagi sedang kami biasanya sekitar jam 4 s.d 5 pagi. Selain itu dia juga perlu menyesuaikan makan. Dia tidak biasa makan nasi saat sarapan biasanya hanya sayur atau teh. Oh ya, dia tidak punya Tuhan. “Lalu apa yang kamu percayai?”, tanyaku waktu itu. “ Sains,” jawabnya. Tetapi perkara Tuhan bukanlah sains atau logika semata ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, namanya iman. Aku hanya membatin. 

Dia tingal di tempat kami kira-kira 1 bulan dan sejak awal sudah menyusun jadwal kegiatannya selama satu bulan. Bahkan sampai memasuki bulan Ramadhan. Saat itu dia mencoba ikut berpuasa satu hari. Dia tidur seharian dan saat berbuka makan banyak sekali. Lucu melihatnya kelaparan seperti itu. Aksi puasanya jadi berita di Harian Tribunnews Jogja. Dia menangis terharu. Yang lebih lucu lagi saat kuminta berdoa untukku. Jadi saat itu aku lupa kalau dia atheis dan aku memintanya untuk mendoakan supaya keinginanku tercapai. Dan ia menyangggupi. Aku sadar akan perbuatanku, lalu kutanyakan pada siapa akan meminta bukankah tidak punya Tuhan untuk dimintai. “ Aku tidak tahu, pokoknya aku akan mendoakanmu.” Dalam hati aku ketawa. Aneh-aneh aja orang atheis, yang mengaku logikanya jalan. Memang pencari Tuhan bukan hanya orang yang sudah punya Tuhan justru orang atheis adalah pencari Tuhan sejati hanya saja mereka tidak menemukannya , begitu kata para peneliti Tuhan. 

Awalnya Suky mengajar bahasa Inggris untuk kami, tetapi karena ternyata bahasa Inggris kami sudah lumayan baik akhirnya ia mengajar bahasa Cina dan dia kami ajari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dia selalu tepat waktu dan berapapun yang hadir dia tetap mengajar. Dia ketat dengan jadwalnya meskipun akhirnya amburadul karena menyesuaikan dengan kami atau kami sengaja mengajaknya ngobrol lama-lama dan disuguhi berbagai makanan. Akhirnya dia bisa menyesuaian makan nasi sehari tiga kali bahkan akhirnya jadi gemuk. Menurutnya kehidupan kami sangat sederhana. Kami menjalani hidup dengan santai (secukupnya) dan kemudian selalu berdoa (bersembahyang). Di negaranya orang berlomba-lomba untuk bekerja mencari uang dan belajar giat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Dan tidak punya waktu untuk berdoa. Yah, China kan negara Komunis bahkan agama Budha yang dianut sebagian pemeluknya bukan sebagai agama, tetapi hanya sebuah kepercayaan saja kata Suky Zhang. Ada juga sih yang beragama Islam disana, tentunya minoritas. 

Aku pikir bagaimanapun minoritas tetapi ada satu hal yang sangat menonjol di China yakni masalah pendidikan. Bahkan gadis seusia Suky sudah punya murid. Jadi ceritanya dia mengajar anak-anak kecil dari golongan tidak mampu dan itu sebuah kerja sosial. Aku bayangkan usia 19 ku masih penuh bermain kesana kemari. Jangankan punya murid, pendidikanku sendiri tidak begitu kupedulikan. Itulah kenapa China begitu maju pendidikannya. Kepedulian masyarakatnya akan pendidikan tinggi. Konon, seorang murid jika melewati gedung tempat mereka belajar akan menunduk hormat. Betapa tinggi penghargaan mereka pada pendidikan. Pantas Tuhan menganugerahi rahmat berupa negara yang maju dan sejahtera pada China, betapa mereka sangat hormat pada ilmu. Di Indonesia jangankan menghormat gedung, gurunyapun tidak dihormat bagaimana ilmu bisa membuahkan. Bahkan di negara kita malah ribut-ribut perkara menghormat bendera saat upacara dianggap syirik. Bagaimana kita bisa maju sedang generasi mudanya tidak ada penghormatan pada tanah airnya. 

Teringat sebuah kisah dalam sebuah kitab. Tersebutlah dua orang anak muda yang pergi menuntut ilmu. Beberapa tahun kemudian keduanya pulang ke negaranya. Anehnya yang satu menjadi ulama yang sangat dihormati sedang yang satunya tidak. Padahal keduanya menempuh ilmu yang sama dan dalam waktu yang sama. Selidik punya selidik ternyata pemuda yang jadi ulama itu ketika belajar untuk mengulang ilmunya dia selain menjaga wudhunya (selalu dalam keadaan suci) juga selalu mengahadap ke arah kota tempat ia menuntut ilmu. Sedangkan pemuda yang tidak menjadi ulama, saat mengulang pelajarannya dia selalu membelakangi kota tempat menuntut ilmu. Jelas kan, para ulama shalaf telah membuktikan bahwa menuntut ilmu bukan hanya perkara jadi pandai atau tidak tetapi yang lebih penting justru etika dan penghormatan yang ditujukan tidak hanya pada ilmunya tetapi segala yang terkait dengan ilmu. Yakni guru, teman, dan buku dan lain halnya. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa ilmu itu cahaya. Hanya hati yang bersih yang bisa menerima cahaya. Tentu saja hati yang bersih itu tidak hanya milik murid saja, gurunya pun harus berhati bersih, dalam artian tulus, mendidik dengan benar dan baik.

Mungkinkah Indonesia bisa memperbaiki pendidikannya. Sedangkan masih sering saja terjadi saat penilaian raport guru-guru supaya menaikan nilai murid supaya sesuai standar padahal kemampuan murid dibawah standar. Bukankah itu penanaman bibit-bibit korupsi, ketidakjujuran, ketidaktulusan, dan menjadikan murid enggan untuk bekerja keras dan tekun dengan ilmunya. Sering kita menuntut murid untuk menjadi juara, nilainya baik dan kita lupa untuk mengatakan bahwa untuk mencapainya jalan yang ditempuh pun harus baik dan benar. Meskipun harus jatuh berkali-kali itu lebih baik, bukankah belajar selalu dari kesalahan. Kalau sudah benar apa yang harus dipelajari? 

Tetapi mungkinkah, kita bisa memperbaikinya sedangkan sistem pendidikan kita menuntut untuk nilai dengan standar tertentu yang itu membuat guru kelabakan hingga memilih jalan pintas karna tidak siap mengalamai yang namanya jatuh, mukanya tercoreng, atau imagenya jadi buruk. Yah, orde baru cukup sukses mencuci otak kita untuk selalu tampil baik, pokoknya asal bos senang. Kenapa jadi menyalahkan orde baru yang sudah lewat. Jangan-jangan tulisanku pun akan jadi tulisan yang cuma lewat saja. Pepatah mengatakan, kota Roma tidak dibangun hanya dalam waktu semalam? (habisnya tidak minta bantuan Bandung Bondowoso sih,,hehe). Dan bukankah 1000 langkah selalu dimulai dari satu langkah kecil. Anggaplah tulisanku adalah satu langkah kecil itu. Masih ada kesempatan bukan,, mari beroptimis ria. Berangkat, satu, dua, tiga. Go..!

Oh ya masih ada yang ingin kutulis. Di negeri China pendidikan yang diterapkan berakar pada ajaran filsafat lokal China sendiri. China lebih memilih untuk mengakarkan pendidikannya pada budaya lokal supaya pelajarnya tahu budaya akarnya sendiri. Salah satunya berpegang pada 1 nasehat dari Konfusius sebagai berikut: “ Bila guru menugaskan murid melakukan sesuatu, laksanakan jangan mencari alasan untuk menunda apalagi menolak. Bila guru memberi nasehat dan petunjuk, dengarkan dan ikuti dengan perbuatan. Guru mengajarkan ilmu dan budi pekerti, serta nasehat yang menyelamatkan kehidupan murid.” 

Sederhana bukan, dan  bukankah Indonesia kaya akan nasihat-nasihat filosofis yang penuh budi pekerti yang mengakar pada Pancasila. Ayo,, berangkat bersama sekarang. Satu, dua, tiga. Go, go, go..!

Save education, save Indonesia..!

Banyumas, 12 Maret 2013; 01:43

Sabtu, 09 Maret 2013

Selamanya Ibu

Percayalah, sampai kapanpun seorang wanita adalah ibu bagi anak-anaknya dan ibu bagi suaminya. Hormatilah ibumu.

Harga Ejekan

Orang yang paling tahu harga dari sebuah ejekan, hinaan, celaan, cacian, dan makian adalah orang yang pernah mengalami diejek, dihina, dicela, dicaci, dan dimaki.

Panglima Perang

Seorang panglima perang tidak hanya menguasai kekuatan dirinya dan pasukan yang dipimpinnya saja tetapi bahkan menguasai dengan baik kekuatan dan kelemahan lawannya.

Beranikah Saya Bermimpi, Bercita-cita dan Memiliki Tujuan?

 ; sebuah catatan buat Dek Widadatun yang telah berpulang pada kamis, 7 Maret 2013



Berita berpulangnya Dek Widadatun malam jumat kemarin tanggal 7 Maret 2013 cukup mengejutkan. Saya sempat tidak percaya, tetapi setelah tanya ke teman-teman yang masih di pesantren ternyata berita itu benar adanya. Terlepas apapun penyebab kematiannya pastinya tak lepas dari kuasa Tuhan. 


Saya mengenalnya karena ia tetangga kamar. Anaknya baik, rajin, aktif, pintar tapi tidak terlalu suka bikin kisruh. Memori saya sedikit memberi perhatian khusus karena sama-sama kuliah di jurusan psikologi meski beda kampus. Yah, selama di Pesantren Luhur jurusan psikologi jarang-jarang ada. Apalagi yang dari kampus UM atau UB. Saya pun harus menunggu lulus untuk punya penerus jurusan psikologi kampus UM yang mau di Pesantren Luhur.


Saya tidak berani membayangkan bagaimana seandainya saya di posisi dek Wida saat menghadapi sakarotul maut ataupun bagaimana ia menjalani hari-hari sakitnya menjelang kepulangannya. Saya terlalu penakut untuk membayangkan hal-hal seperti itu. Hanya saya pernah membayangkan kematian ketika pasca operasi kecelakaan dan saya merasakan kenyerian yang luar biasa. Saat itu saya berfikir, Tuhan andai saya berakhir hari ini biarlah saya rela dengan semua perbuatan saya apapun itu. Nyatanya saya masih diberi kesempatan bernafas hingga hari ini. Alhamdulillah


Kenyataannya kematian bisa menghampiri siapapun, tetapi saya sedikit tidak rela jika itu menimpa teman dekat apalagi usianya masih muda. Saat itu saya lupa bahwa banyak sekali kematian menghampiri anak-anak, bayi bahkan janin yang masih di kandungan. Setiap kematian orang baik apalagi saya mengenalnya dengan baik atau saya mengagumi sosoknya selalu membuat hati saya melompong. Saya membutuhkan waktu untuk berdiam, menikmati sensasi kehilangan, merenung berlama-lama bahkan kadang membuat saya tidak doyan makan, tidur dan ngomong. Batok kepala saya seperti diketok palu dan butuh waktu sekian jenak untuk menghilangkan sensasi sakitnya. Banyak soal yang terlintas di benak saya dan semuanya minta diurai.


Saat seseorang mati dalam keadaan yang baik, entah itu harinya baik, atau jasadnya begitu damainya atau kematiannya demikian mudahnya membuat saya semakin tercenung. Saya sempatkan untuk mengaduk-aduk memori saya tentangnya. Mengenang segala apa yang sudah diperbuatnya selama di dunia. Hal apakah yang membuat kematian menghampirinya seperti seorang sahabat lama. Apakah memang sebelumnya dia telah tahu sehingga bisa berkompromi untuk memilih hari yang baik, saat yang baik dan dengan cara yang baik. Tetapi, siapakah orangnya yang diberi kesempatan untuk memilih hal-hal tersebut.


Cita-cita, Tujuan, Impian


Apabila seseorang ingin mencapai sebuah impian atau cita-cita idealnya dia akan mempersiapkan segala hal untuk menunjang cita-citanya itu. Setiap hari dirancangnya dengan tepat, akurat supaya segera tercapai cita-citanya. Artinya hari-harinya dirancang sedemikian cermatnya demi tercapainya cita-cita, tujuan dan impian yang dikehendaki. Tentunya bila kita hendak bepergian ke suatu tempat, jauh-jauh hari kita telah memikirkan berapa ongkosnya, bawa bekal apa, bawa baju berapa, naik apa, berangkat jam berapa apalagi jika tempat itu belum pernah kita kunjungi, tentunya persiapan kita akan lebih cermat. Kita akan sedapat-dapatnya mencari tahu keadaan lokasi yang akan kita kunjungi. Bagaimana suasananya, panaskah, dinginkah, ada kendaraan untuk kesana atau tidak, jauhkah dan lain sebagainya. Namun, ada juga beberapa orang yang merasa tidak perlu bersiap-siap entah karena nekat atau merasa yakin tidak akan tersesat atau alasan lainnya. Yang menjadi permasalahan adalah apabila seseorang tidak tahu tujuan yang akan dicapai atau bolehlah saya katakan tidak punya cita-cita. Jadi dia oke aja kemana kaki membawanya melangkah tanpa tujuan yang pasti bahkan tidak tahu tersesat atau tidak dan tak terasa umur sudah tua tanpa bisa merasakan indah dan sengsaranya hidup. Ketika kakinya berhenti melangkah maka berakhirlah perjalanannya. 


Pada titik tersebut saya berfikir betapa pentingnya menetapkan tujuan, cita-cita, atau impian. Paling tidak langkah menjadi terarah pun jika tersesat bisa melihat peta yang sudah dipersiapkan. Dan parahnya tak pernah terfikirkan dalam benak saya untuk menjadikan hari kematian, cara kematian, tempat kematian, husnul khotimah atau su’ul khotimah sebagai tujuan, cita-cita atau impian. Bukankah hidup di dunia tidak kekal dan masih ada hidup lain setelah ini yang menanti artinya masih ada tempat lain yang harus saya kunjungi atau ada tujuan lain yang nantinya akan saya capai. 


Patut sekali lagi bahkan mungkin berkali-kali untuk saya tarik-tarik dan ulur-ulur, jika semua manusia akan berujung pada tujuan kematian, pada alam lain yang menantinya bukankah seharusnya saya fokus pada tujuan yang pasti akan ditempuh itu. Harus dipersiapkan dengan matang kapanpun kereta akan berangkat. Menyiapkan bekal secukup-cukupnya. Menyiapkan peta sedetail-detailnya supaya tidak tersesat bahkan memilih kereta apa yang akan membawa kita. Kelas ekonomikah, bisniskah, atau eksekutifkah. 


Pertanyaan yang mengedor-gedor kepala saya adalah beranikah saya menjadikan cara kematian, hari kematian, tempat kematian, husnul khotimah atau su’ul khotimah sebagai tujuan hidup, sedang jelas-jelas saya masih bernafas dan sehat walafiat. Masih banyak impian, cita-cita, dan tujuan dalam hidup yang ingin saya penuhi. Sudah gilakah saya berani merancang kematian saya sedang itu merupakan rahasia Tuhan Maha Kuasa. Tetapi bukanakah terkadang butuh keberanian yang benar-benar mendekati kegilaan untuk mencapai impian, cita-cita, dan tujuan yang tidak lumrah bagi kebanyakan orang. Entahlah. Mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan rupanya.




Buat Dek Wida, psikolog Indonesia kehilangan salah satu calon terbaiknya. Selamat jalan Dek, semoga jalanmu dilapangkan Tuhan.




Banyumas, 9 Maret 2013 ; 03:00