Minggu, 21 April 2013

Kompromi




Seorang teman mulai bulan ini resmi berstatus CPNS. Dia meninggalkan dunianya yang slow kayak di pulau dan santai kayak di pantai. Sekarang dia harus pagi berangkat kerja dan sore baru pulang, tidak bisa seenak udele dewe lagi. Mungkin sebagian orang akan menyatakan betapa beruntungnya dia menjadi PNS dengan jaminan gaji dan pekerjaan yang mentereng sebagai staf kementrian hukum dan HAM. Demikiankah kenyataannya. Ternyata tidak. Dia sangat sedih karena harus masuk sangkar emas. Seekor burung yang biasanya terbang bebas dan berpotensi menjadi burung yang kuat harus rela masuk sangkar emas. Meskipun terbuat dari emas sangkar tetaplah penjara bagi burung. Kenapa dia berbuat demikian, apakah sebelum ujian seleksi dia tidak mempertimbangkan akibatnya jika diterima. Tentu saja dia sangat paham dengan aturan main sebagai PNS, hanya sejak awal dia mengikuti ujian untuk memenuhi harapan ibunya. Supaya mendapat pekerjaan yang lebih layak dengan gaji yang lebih jelas daripada profesi sebelumnya, dia memiliki bisnis rental yang sedang berkembang baik. 


Seorang teman lain yang memiliki bakat sangat baik di bidang tulis menulis dan bahasa mencoba untuk mendaftar sebagai pegawai bank sesuai keinginan ibunya. Dia diterima dan dijalaninya rutinitas sebagai pegawai bank dengan baik. Meskipun akhirnya ia bisa memilih keluar sebelum diangkat pegawai tetap dengan persetujuan ibunya dan memilih menjadi editor bahasa di salah satu koran nasional.


Demi


Kawan pertama memilih untuk berkompromi dengan meninggalkan dunia bebasnya menuju rutinitas yang tidak disukainya demi orang tuanya. Kawan kedua pun memilih hal yang sama meskipun akhirnya ia mampu keluar dan menyelamatkan bakatnya di bidang bahasa. Tidak mudah memang menjalani suatu hal yang tidak disukai, menjadi orang asing bagi diri sendiri.  Tetapi tindakan asing tersebut demi menyenangkan orang tua demi penghormatan kepada orang tua mungkin nilainya lain. Niat tersebut sebagai etika terimakasih kepada orang tua dan menyebabkan Tuhan berkenan menurunkan Rahmatnya.


Saya sendiri merasakan betapa buruknya jalan hidup saya akibat terus menentang orang tua. Saya maunya ke barat orang tua maunya ke timur. Baik saya maupun orang tua sama-sama keras kepala, tidak ada yang mau mengalah. Hasilnya hidup saya tidak karu-karuan. Saya tidak akan tega menyalahkan orang tua betapapun kurang bijaknya tindakan mereka, hanya akhirnya saya harus memahami dan berkompromi. Mengurangi apa yang menjadi tuntutan-tuntutan saya dan memenuhi tuntutan orang tua demi penghormatan dan etika. Kalau jalannya licin dan berpotensi terpleset kenapa saya malah menaburinya dengan oli. Saya berusaha bermain cantik tanpa melukai diri saya dan orang tua. Ternyata dengan penghormatan ini Tuhan pun berkenan menurunkan rahmatnya. Setidaknya hati saya dilapangkan sehingga akal saya semakin jernih untuk berfikir atas semua tindakan-tindakan saya.


Pinsip Universal


Sebuah perkataan sering muncul “ Demi kebaikanmu Nak,,” dan itu menjadi kartu As yang membuat seorang anak leleh karena dogma melawan orang tua adalah perbuatan yang dikutuk. Sebenarnya ingin menjawab dengan “ Demi kebaikanmu bu, pak,,” tetapi betapa tidak hormatnya perkataan seperti itu. Apakah menjadi orang tua memang menjadi pihak yang superior yang selalu tahu jalan mana yang baik dan jalan mana yang buruk. Dan seorang anak adalah pihak yang selalu butuh tuntunan dan bimbingan supaya arahnya benar menurut selera mereka. Wah saya jadi sangat emosional. He,,he,,


Jika yang menjadi takaran adalah kebaikan saya kira kebaikan bersifat universal dan tidak memiliki kasta artinya siapapun berhak untuk berbuat baik senyampang masih hidup. Kebaikan adalah fasilitas Tuhan untuk lebih mengenal sifat Maha Baik-Nya. Dan itu gratis untuk dipakai siapapun. Penjahat, pencuri, pelacur pun masih berhak menggunakannya meskipun sederet perilaku cacat sosial telah disandang.


Kebaikan dan Kebenaran


Konon kebaikan tidak selalu benar dan kebenaran tidak selalu baik. Bisakah terjadi seperti itu, kenapa tampak rumit. Bagaimanakah menjadikan keduanya beriringan dan indah dilihat dan bisakah hal itu terjadi. Bisa saja tetapi pasti memakan korban yang tidak murah. Ada tuntutan-tuntutan mahal mengenai ego yang kita miliki untuk dikorbankan.


Tidak baik dan tidak benarkah keinginan oang tua. Tentu tidak demikian. Keinginan mereka wajar dan baik. Atau keinginan kita yang kurang pada tempatnya, tentu tidak juga. Atas hukum kemanusiaan memiliki keinginan wajar-wajar saja. Hanya bagaimana pelaksanaannya tidak menyulut percikan-percikan yang menyengat diri sendiri dan pihak lain. Bagimana mengkomunikasikan apa yang kita inginkan dengan keinginan orang lain. Nah disinilah rupanya letak baik dan benar. Tentunya dengan menurunkan tuntutan-tuntutan atas ego masing-masing pihak. Karena komunikatif besifat mendamaikan bukan menghakimi. Yah pada akhirnya mungkin tidak semua keinginan terpenuhi akan tetapi minimal terpenuhi sebagian dengan perasaan yang legowo. Setidaknya hal itu lebih baik daripada tidak terpenuhi sama sekali.


Terkadang perlu berputar jalan dulu untuk mencapai apa yang kita inginkan. Sangat sulit memang, karena kita meletakan kaki di dua sisi yang berbeda tetapi harus tetap bisa berjalan dengan baik. Namun, seringkali kompromi membuat kita menghemat energi untuk bermusuhan. Ada kesempurnaan dibalik ketidaksempurnaan. Semoga.



Banyumas, 21 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar