Seorang teman mulai bulan ini resmi berstatus CPNS. Dia
meninggalkan dunianya yang slow kayak
di pulau dan santai kayak di pantai. Sekarang dia harus pagi berangkat kerja
dan sore baru pulang, tidak bisa seenak
udele dewe lagi. Mungkin sebagian orang akan menyatakan betapa beruntungnya
dia menjadi PNS dengan jaminan gaji dan pekerjaan yang mentereng sebagai staf
kementrian hukum dan HAM. Demikiankah kenyataannya. Ternyata tidak. Dia sangat
sedih karena harus masuk sangkar emas. Seekor burung yang biasanya terbang
bebas dan berpotensi menjadi burung yang kuat harus rela masuk sangkar emas. Meskipun
terbuat dari emas sangkar tetaplah penjara bagi burung. Kenapa dia berbuat
demikian, apakah sebelum ujian seleksi dia tidak mempertimbangkan akibatnya
jika diterima. Tentu saja dia sangat paham dengan aturan main sebagai PNS,
hanya sejak awal dia mengikuti ujian untuk memenuhi harapan ibunya. Supaya
mendapat pekerjaan yang lebih layak dengan gaji yang lebih jelas daripada
profesi sebelumnya, dia memiliki bisnis rental yang sedang berkembang baik.
Seorang teman lain yang memiliki bakat sangat baik di bidang
tulis menulis dan bahasa mencoba untuk mendaftar sebagai pegawai bank sesuai
keinginan ibunya. Dia diterima dan dijalaninya rutinitas sebagai pegawai bank
dengan baik. Meskipun akhirnya ia bisa memilih keluar sebelum diangkat pegawai
tetap dengan persetujuan ibunya dan memilih menjadi editor bahasa di salah satu
koran nasional.
Demi
Kawan pertama memilih untuk berkompromi dengan meninggalkan
dunia bebasnya menuju rutinitas yang tidak disukainya demi orang tuanya. Kawan
kedua pun memilih hal yang sama meskipun akhirnya ia mampu keluar dan
menyelamatkan bakatnya di bidang bahasa. Tidak mudah memang menjalani suatu hal
yang tidak disukai, menjadi orang asing bagi diri sendiri. Tetapi tindakan asing tersebut demi menyenangkan
orang tua demi penghormatan kepada orang tua mungkin nilainya lain. Niat tersebut
sebagai etika terimakasih kepada orang tua dan menyebabkan Tuhan berkenan
menurunkan Rahmatnya.
Saya sendiri merasakan betapa buruknya jalan hidup saya
akibat terus menentang orang tua. Saya maunya ke barat orang tua maunya ke
timur. Baik saya maupun orang tua sama-sama keras kepala, tidak ada yang mau
mengalah. Hasilnya hidup saya tidak karu-karuan. Saya tidak akan tega
menyalahkan orang tua betapapun kurang bijaknya tindakan mereka, hanya akhirnya
saya harus memahami dan berkompromi. Mengurangi apa yang menjadi
tuntutan-tuntutan saya dan memenuhi tuntutan orang tua demi penghormatan dan
etika. Kalau jalannya licin dan berpotensi terpleset kenapa saya malah menaburinya
dengan oli. Saya berusaha bermain cantik tanpa melukai diri saya dan orang tua.
Ternyata dengan penghormatan ini Tuhan pun berkenan menurunkan rahmatnya.
Setidaknya hati saya dilapangkan sehingga akal saya semakin jernih untuk
berfikir atas semua tindakan-tindakan saya.
Pinsip Universal
Sebuah perkataan sering muncul “ Demi kebaikanmu Nak,,” dan
itu menjadi kartu As yang membuat seorang anak leleh karena dogma melawan orang tua adalah perbuatan yang dikutuk.
Sebenarnya ingin menjawab dengan “ Demi kebaikanmu bu, pak,,” tetapi betapa
tidak hormatnya perkataan seperti itu. Apakah menjadi orang tua memang menjadi
pihak yang superior yang selalu tahu jalan mana yang baik dan jalan mana yang
buruk. Dan seorang anak adalah pihak yang selalu butuh tuntunan dan bimbingan
supaya arahnya benar menurut selera mereka. Wah saya jadi sangat emosional. He,,he,,
Jika yang menjadi takaran adalah kebaikan saya kira kebaikan
bersifat universal dan tidak memiliki kasta artinya siapapun berhak untuk
berbuat baik senyampang masih hidup. Kebaikan adalah fasilitas Tuhan untuk lebih
mengenal sifat Maha Baik-Nya. Dan itu gratis untuk dipakai siapapun. Penjahat,
pencuri, pelacur pun masih berhak menggunakannya meskipun sederet perilaku cacat
sosial telah disandang.
Kebaikan dan
Kebenaran
Konon kebaikan tidak selalu benar dan kebenaran tidak selalu
baik. Bisakah terjadi seperti itu, kenapa tampak rumit. Bagaimanakah menjadikan
keduanya beriringan dan indah dilihat dan bisakah hal itu terjadi. Bisa saja
tetapi pasti memakan korban yang tidak murah. Ada tuntutan-tuntutan mahal
mengenai ego yang kita miliki untuk dikorbankan.
Tidak baik dan tidak benarkah keinginan oang tua. Tentu
tidak demikian. Keinginan mereka wajar dan baik. Atau keinginan kita yang
kurang pada tempatnya, tentu tidak juga. Atas hukum kemanusiaan memiliki
keinginan wajar-wajar saja. Hanya bagaimana pelaksanaannya tidak menyulut
percikan-percikan yang menyengat diri sendiri dan pihak lain. Bagimana mengkomunikasikan
apa yang kita inginkan dengan keinginan orang lain. Nah disinilah rupanya letak
baik dan benar. Tentunya dengan menurunkan tuntutan-tuntutan atas ego
masing-masing pihak. Karena komunikatif besifat mendamaikan bukan menghakimi. Yah
pada akhirnya mungkin tidak semua keinginan terpenuhi akan tetapi minimal
terpenuhi sebagian dengan perasaan yang legowo.
Setidaknya hal itu lebih baik daripada tidak terpenuhi sama sekali.
Terkadang perlu berputar jalan dulu untuk mencapai apa yang
kita inginkan. Sangat sulit memang, karena kita meletakan kaki di dua sisi yang
berbeda tetapi harus tetap bisa berjalan dengan baik. Namun, seringkali kompromi
membuat kita menghemat energi untuk bermusuhan. Ada kesempurnaan dibalik
ketidaksempurnaan. Semoga.
Banyumas, 21 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar