Saat masih SMA, seorang guru bahasa Indonesia pernah menanyakan apa yang kucita-citakan. Spontan aku menjawab, “ Aku ingin menjadi sastrawan.” Sebuah jawaban yang aneh karena seisi kelas tidak ada yang memahami jawabanku. Aku sendiri tidak mengerti kenapa spontan menjawab seperti itu disaat orang lain ingin menjadi akuntan, psikolog, polisi, tentara, ahli ekonomi, pengacara dan profesi lain yang lebih jelas definisi dan jelas juga penghasilannya.
Aku bukanlah orang yang senang buku-buku sastra, juga tidak
membaca karya-karya para sastrawan Indonesia. Bahkan saat SMA aku tidak tahu
nama-nama mereka. Hanya tahu lewat pelajaran bahasa Indonesia. Itupun hanya
sekilas dan aku tidak berusaha melacak karya mereka. Ketika membacanya pun beberapa
halaman saja sudah pusing rasanya. Aku tidak bisa menikmati keindahan
bahasanya.
Sekarang, setelah kecelakaan dan aku punya banyak waktu
luang untuk melamunkan banyak hal, tiba-tiba aku ingat bahwa aku pernah
bercita-cita menjadi sastrawan. Aku mencoba mengira-ira apa sebenarnya yang
kupikirkan saat itu. Dalam benakku sastrawan adalah sosok yang sangat wah,
keren pokoknya. Dia memiliki puluhan karya yang sangat terkenal baik di dalam
negeri maupun di luar negeri. Karya-karyanya mendapat penghargaan nasional dan
internasional. Dia akan diundang untuk menghadiri seminar sastra tingkat
nasional. Dimintai tandatangan di bukunya. Menghadiri undangan pembelajaran
menulis di kampus-kampus atau di sekolah-sekolah. Berdiskusi dan bersanding
dengan para sastrawan lain bahkan dengan para budayawan negeri ini. Gambaran yang
sangat wah bukan.
Nyatanya saat kuliah aku tidak mengambil jurusan para
sastrawan, justru aku mengambil jurusan penyembuhan orang sakit jiwa. Sangat berkebalikan.
Aku berfikir, apa sebenarnya yang kuinginkan. Sebuah pengakuan sosial seperti
itukah yang kuinginkan dalam hidup. Sebuah pengakuan dan kemenangan-kemenangan
yang diakui oleh orang kah. Lalu setelah memiliki kemenangan apalagi yang
kuinginkan. Apakah kemudian hidupku akan berhenti demikian saja karena telah
meraih kemenangan. William Shakespeare pernah
mengatakan, “ Apalagi yang akan kamu menangkan jika kemenangan itu sendiri telah
kamu dapatkan.” Nyata sekali bahwa
kemenangan bukanlah puncak dari segalanya. Kemenangan seringkali membawa korban
yang akan meminta korban-korban selanjutnya. Kemenangan-kemenangan seorang yang
merupakan kekalahan-kekalahan orang lain. Bukankah sangat egois ?
Pramoedya Ananta Toer salah satu sastrawan Indonesia yang
dinominasikan akan mendapat nobel sastra,
ketika ditanya apa resep menjadi penulis yang baik hanya mengatakan
kalau mau menulis ya menulis saja. Tentu saja Pram bisa dengan enteng
mengatakan hal itu karena menulis bagi Pram adalah seperti manusia yang
bernafas untuk hidup, jika tidak benafas maka mati. Demikian pula Pram dengan
menulis. Predikat sastrawan dan nominator peraih nobel hanya imbas dari apa
yang dia lakukan, dari kerja keras dan ketekunannya menulis. Dewi Lestari saat
menerbitkan buku pun tidak berkeinginan menjadi penulis perempuan seperti
sekarang. Dia hanya ingin menerbitkan bukunya karena ia mencintai menulis sejak
kecil. Masihkah aku berkeinginan seperti itu, menjadi besar dan terkenal
seperti mereka?
Aku menjadi sadar terkadang masih saja menginginkan hal yang
nampak di luarnya dan tidak mau memahami maksud yang sebenarnya. Menjadi sastrawan,
penulis yang besar, terkenal, dipuji dimana-mana, mendapat penghargaan bukankah
hanya efek sosial dari apa yang telah dikerjakan.
Dan itukah yang diinginkan para penulis besar itu. Kukira tidak selalu.
Bukankah menyelesaikan suatu buku, karya atau tulisan adalah kepuasan batin
tersendiri bagi penulis. Kemenangan tersendiri. Seperti seorang prajurit yang
kembali dari medan perang dengan kemenangan. Seperti seorang bidan yang
berhasil menolong kelahiran jabang bayi dengan selamat. Seperti seorang guru
yang berhasil melihat muridnya sukses dimana-mana sedang ia masih saja duduk di
ruang kelas tidak kemana-mana. Seperti orang tua yang melihat anaknya berhasil
sedang ia menjadi bertambah tua dan semakin senja. Senja yang bahagia.
Masihkah aku terjebak pada pengejaran penghargaan sosial
yang kelegalannya bisa direkayasa oleh kesepakatan sekelompok orang. Entahlah.
Banyumas, 1 April 2013 ; 08:44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar