Kamis, 22 Mei 2014

Tentang Berbagi Dengan Lelaki Tak istimewa

.. firasat ini, rasa rindukah atau kah hanya bayang,,

Kadangkala kanal hidup mengantarkan kita pada arah yang tak tentu. Kadang satu arah tetapi penuh onak duri terkadang berlawanan arah tetapi ketemu jalan buntu.  Muara yang menjadi ujung perjalanan memiliki banyak rasa. Itu pasti. Dan di setiap persinggahan selalu tercipta ending yang memudahkan kita melanjutkan cerita. Bukan membuat cerita baru loo… Tuhan Yang Maha Kasih selalu memberi sinyal di setiap pergantian cerita. Ada banyak bahasa yang dicipta Tuhan untuk menyampaikan pesannya. Hanya, manusia sering tidak memahami bahasa Tuhan termasuk bahasa hati – firasat. Yah, konon firasat adalah bahasa hati yang terlupa. Manusia sering mengabaikannya bahkan memilih mematikan hati.

Dan kanal hidupku dimulai di fase ini. Fase yang membuatku memiliki keinginan untuk lebih serius dengan jalan hidupku. Serius dengan mimpi-mimpiku. Serius dengan segala dedikasiku. Serius dengan apa yang sudah dirahmatkan Tuhan untukku. Dan serius untuk tidak hanya hidup untukku, tetapi untukmu. Yah, ini tentang seorang lelaki memang. Dia bukan lelaki sederhana seperti yang pernah kuceritakan. Dia seorang lelaki biasa saja. Boleh kukatakan dia lelaki tak istimewa. Tidak istimewa karna aku tak bisa jatuh cinta padanya (bisa jadi belum), tetapi saya berani bertaruh berbagi kanal hidup dengannya. Aku pasti telah gila..! ha ha ha

Jika jatuh cinta adalah dasar memulai hubungan, maka aku tidak termasuk di dalamnya. Aku memilih tidak jatuh cinta tetapi mencintai untuk membangun sebuah hubungan.

Tuhan tak pernah mengacuhkanku. Ia mengirimkan pertanda. Firasat itu datang dan terwujud sampai hari ini saat aku tak acuh. Aku menanggapinya. Aku mau diperjalankan Tuhan hingga hari ini. Aku mau mengikuti prosesMu.  Tidak mudah. Onak selalu hadir. Dan jika sampai ada hari ini bukan sebuah takaran aku sukses, tetapi aku telah melewati fase-fase itu beserta endingnya.

Tuhan, bersama lelaki tak istimewa yang Kau kirimkan aku ingin menjalani hidup sebagai manusia. Makhluk termulya yang pernah Kau cipta. Aku tak ingin hidupku berubah jadi malaikat atau iblis. Berbagi cerita, berbagi mimpi, berbagi rasa, berbagi hati. Biarlah aku jatuh cinta di waktu yang tak pernah kuduga. Biarlah cintaku bersemi saat kematangan telah menjemput. Biarlah waktu memproses rasa itu, saat Tuhan tak pernah lindap dengan kasih sayangnya, pun hidup kita. Tak pernah lindap dari kasih sayang. Saling hormat, saling bijak, saling peka, saling mengisi, saling percaya, saling setia, saling memberi, saling menerima, saling belajar untuk apapun.

Percaya atau tidak, berbuat kebaikan tanpa mengharap balasan, justru mendatangakan balasan tak terduga dari Tuhan Yang Maha Baik. Dan saya percaya itu. Kebaikan inilah yang ingin kubangun bersamamu, mas gus,,, until the end..!


Jogja istimewa, 22 Mei 2014 <saat pijakan itu mulai kita rencanakan>

Sabtu, 27 April 2013

Salah Membaca Label


Siang ini setelah selesai menunaikan mandi siang dan mencuci mendadak saya terkenang akan malam-malam begadang ditemani semangkuk mie goreng pedas dan secangkir kopi. Saya ingin membuat mie goreng pedas tetapi kali ini tidak dengan secangkir kopi. Saya ganti dengan sebutir telur goreng.


Saya mempersiapkan semua bahan yang dibutuhkan. Sebungkus mie, cabai, daun bawang, telur, bawang merah, dan kecap. Semua bumbu diracik. Telur yang dicampur irisan bawang merah dan daun bawang telah siap digoreng. Mie sedang direbus tinggal meracik bumbu di piring. Cabai rawit saya iris kecil-kecil kemudian saya gerus, ditambah sesendok kecap dan bumbu mie. Saat memasukan bumbu, saya merasa agak aneh. Kenapa bumbu mie goreng tidak ada saos dan kecapnya. Namun kemudian saya berfikir, ah kan sudah saya tambahi kecap tadi. Saya pun tidak berfikir banyak lagi karena sudah tidak sabar ingin menikmati hasil masakan.

Memasak selesai dan siap dinikmati. Sudah tidak sabar rasanya. Saya duduk manis dan bersiap menyantap hidangan makan siang. Telur gulung berisi potongan daun bawang dan bawang merah tidak pernah bosan saya santap. Lezat. Akhirnya saya mulai menyendok mie pedas dengan garpu dan membulatkannya dengan bantuan sendok makan. Saya bayangkan rasanya yang pedas manis. Begitu masuk mulut dan ces, mata saya membulat. Lidah saya mengirim sinyal ketidakberesan. Sebuah tanda tanya membayang. Kenapa rasanya sangat asin, padahal saya tidak memberinya garam. Seperti kebanyakan bumbu. Jangan-jangan. Saya segera berlari ke dapur dan memungut bungkus mie. Olalaaa. Rupanya saya salah mengambil mie. Salah membaca label yang tertera di bungkus mie. Mie yang saya makan ternyata mie rebus bukan mie goreng. Pantas saat menuang bumbu rasanya ada yang tidak beres, tetapi saat itu pikiran saya dipenuhi keinginan untuk segera menyantap mie sehingga tidak mengecek label mie. 

Sambil menikmati makan siang yang tidak lagi bersemangat, semangkok mie asin dan telur gulung, saya menertawakan kebodohan saya siang ini. Betapa fatal akibat tidak mau membaca label dengan teliti. Seringkali otak saya penuh dengan rencana-rencana yang akan diperbuat terhadap sebuah barang. Tentunya setelah saya berhasil memilikinya. Dan melupakan satu hal yang penting sekali. Membaca label yang tertera. Termasuk aturan main penggunaannya. Apakah barang tersebut cocok untuk saya miliki, mampukah saya merawatnya, pengorbanan apa yang harus saya lakukan jika memilikinya dan sederet syarat lain yang harus mampu saya penuhi.


Seringkali otak saya lebih memedulikan promosi yang sampai bahwa barang tersebut memiliki kualitas yang baik, dapat meningkatkan ini, itu, membuat begini dan begitu dan sederet promosi yang menjanjikan. Otak saya tidak sampai pada sebuah kalimat : apakah saya membutuhkannya, apakah nanti saya mampu merawatnya, karena barang yang bagus membutuhkan perawatan yang bagus pula. Lagi-lagi saya memilih untuk merasakan kecewa karena tidak mampu menakar diri. Tidak mampu menerjemahkan petunjuk, label yang tertera dengan baik dan bijak. Saya memilih menelan pil pahit supaya pemahaman untuk membaca label dengan bijak langsung saya rasakan. Langsung datang menohok akal saya yang sok pandai. Dan, pelajaran siang ini bukanlah yang pertama. Karena berulangkali saya salah membaca label dan berulangkali pula saya menelan kekecewaan. Kalau ada peribahasa yang berbunyi Kerbau dungu tidak akan jatuh ke lubang yang sama untuk keduakalinya, maka saya manusia yang konon lebih pandai dari Kerbau malah jatuh ke lubang yang sama berkali-kali tanpa mau belajar. Jangan-jangan saya memang lebih dungu dari kerbau.

~asna rosela~

Rabu, 24 April 2013

Puzzle, Sebuah Keutuhan



Apakah derita itu? Apakah musibah itu? Apakah sedih itu? Jika saya ditanya hal itu hari ini, saya akan menjawab tidak tahu. Saya tidak mengerti apakah Tuhan benar-benar menciptakan mereka atau kesalahan manusia untuk mengenalinya. Entahlah. Saya tidak tahu. Karena detik ini mendadak saya tidak merasa pernah memiliki mereka

Jika saya menengok kebelakang sejenak terlihatlah serentetan peristiwa yang terasa pahit, manis telah terjadi.  Potongan puzzle itu tersimpan rapi dalam folder yang bernama hati. Ya, saya memang telah memindakan file itu dari folder otak ke folder hati. Adakah bedanya. Entahlah. Akan tetapi, baru-baru ini hati saya membutuhkan banyak aksesoris supaya lebih berwarna dan hidup dan juga supaya otak saya tidak terlalu penuh. 

Dalam beberapa tahun yang lewat saya mengunci hati. Membiarkannya pengap, lembab, kotor, keras dan untungnya sebelum membatu saya kelelahan. Akhirnya pelan-pelan saya buka, membiarkan cahaya dan udara segar masuk. Debu-debu mulai beterbangan diseru udara segar. Kabut-kabut mulai tersingkap dan akhirnya sirkulasi udara telah membebaskan kelembabannya. Saya masuk dan merenunginya. Telah berpuluh tahun ruang ini terkunci. Samar saya melihat dinding yang masih kokoh dalam balutan debu. Atap yang masih gagah menaungi dengan sarang laba-laba yang tebal. Cat kayunya pun masih terlihat awet meski warnanya tercampur debu. Ternyata ruangan ini masih kokoh dan layak huni. Kali ini saya punya waktu lebih banyak untuk membersihkannya pelan-pelan. 

Usai dibersihkan dalam waktu yang cukup lama, ternyata pengamatan saya masih jeli. Ruang ini masih layak huni dan masih tampak kokoh. Namun terlihat lowong, karena semua aksesorisnya tersimpan di otak sebagai satu-satunya tempat menyimpan selama terkunci. Dan ruang otak yang terlalu penuh itu pun harus saya rapikan. Saya pilih-pilih aksesoris mana yang harus saya pindahkan ke hati dan mana yang tetap tinggal di otak. Cukup sulit karena saya memiliki simpanan aksesoris yang banyak dan beraneka ragam. Tetapi saya tidak sedang mengejar kereta untuk bepergian. Saya sedang tidak ingin kemana-mana. Hanya ingin berbenah.

Sekarang folder hati dan otak saya telah tertata rapi. File-file tersusun rapi sesuai tema-tema yang saya sukai. Semua terdata rapi sesuai dengan waktu dan tempat kejadian. Saya senang. Setelah lama menanti, akhirnya bisa melakukan hal ini. Kini udara segar bisa dengan senang menari dan bernyanyi lewat ventilasi atau pintu yang terbuka. Tubuh saya pun lebih ringan dan terasa sehat. Terkadang saya memutar irama dan bernyanyi bersama semilir angin. Atau terduduk diam sambil menikmati ribuan kaleidoskop yang menarik. Dan pengamatan berujung pada file baru yang sengaja saya ciptakan untuk menambah semarak.

Kaleidoskop-kaleidoskop itu menjelma menjadi potongan puzzle yang melengkapi sebuah gambar. Rupanya puzzle-puzzle yang telah saya susun kembali dan sudah dibersihkan menjadi pajangan dinding yang indah. Satu potong saja hilang membuat gambarnya tidak utuh. Mulai saat itu saya lupa bagaimana cara bersedih dan menderita. Mungkin saya memang benar-benar amnesia setelah kepala saya terbentur aspal untuk kedua kalinya. 


Banyumas, 24 April 2013

Senin, 22 April 2013

Menulis, Sebuah Perayaan Pertemuan


Memiliki blog adalah salah satu keinginan saya sejak lama. Saya orang yang gaptek dan lelet untuk  memahami teknologi, alasan itulah yang semakin membuat jarak antara keinginan dan punya blog. Pertengahan 2010 saya sempat membuat blog, tetapi belum saya isi dan saya telah lupa dengan email dan passwordnya. Saya kesal, akhirnya tertunda lagi keinginan saya. 

Saya sangat bersyukur akhirnya diberi alasan untuk beristirahat dalam waktu yang lama. Dalam masa istirahat itulah tiba-tiba muncul keinginan saya untuk membuat blog. Saya menunggu tangan kanan saya benar-benar bisa digunakan untuk mengetik. Sambil menunggu saya memikirkan alasan apa yang akan saya ketengahkan mengapa ingin membuat blog. Blog macam apa yang ingin saya buat, ingin saya bagi. Saya berselancar ke berbagai blog yang ada. Kenapa blognya bisa begitu ramai pengunjung, konten apa yang ditawarkan sehingga begitu diminati. Akhirnya saya memilih beberapa blog sebagai acuan yang menurut saya layak untuk dijadikan contoh. Selain isi blog yang bergizi, tampilan yang simple tetapi cantik, dan menunjukkan warna pemiliknya. 

Blog-blog yang saya tandai menarik untuk dibaca ternyata memiliki penulis yang secara jujur mengemukakan suara hatinya. Dia menuliskan pemikirannya seperti bercerita. Menceritakan apapun yang dialaminya atau pandangannya terhadap suatu permasalahan. Dan itu bagi saya mencerahkan dan sebuah tindakan yang berani. Penulisnya seperti membuka lapis demi lapis tentang dirinya dan membiarkan orang lain membaca dan mengetahuinya. Saya kira tidak semua orang berani untuk melakukannya.

Akhirnya saya mengerti satu hal, bahwa seorang penulis adalah tidak hanya menuliskan apa yang ada di pikirannya semata tetapi justru menyuarakan ‘hati’ yang sudah mendarah daging dengan tubuh. Bukan menyuarakan bungkus tetapi menyuarakan isi. Orang tertarik dan jatuh cinta terhadap sebuah tulisan saya kira bukan karena kata-kata yang dirangkai indah tetapi isi yang ditawarkan benar-benar mencerahkan dan bergizi. 

Saya sempatkan untuk melongok ke dalam diri saya dan menakar keberanian saya. Beranikah saya mengupas lapis demi lapis yang selama ini menyelubungi jiwa saya. apakah hal itu tidak memalukan. Masih saja ada keraguan untuk melakukannya. Kemudian muncul pertanyaan, apakah para penulis yang telah mampu dan berani membuka lapis demi lapisnya kemudian tercoreng namanya. Ternyata tidak bahkan banyak yang menjadi semakin harum. Ternyata saya menginsyafi satu hal. Menuang isi hati bukanlah dengan luapan emosi tetapi isi hati yang telah terolah, tertransformasikan dari bentuk menjadi isi. Ibarat buah ia adalah buah yang telah matang, sehingga meskipun pada dasarnya rasa buah itu adalah asam tetapi jika telah matang rasa asamnya menyegarkan. 

Itulah yang akan saya tanam. Sebuah benih yang telah siap bertemu dengan tanah subur untuk disemai. Sebentuk isi yang telah siap dinikmati. Segenggam rindu yang telah siap bertemu. Bertemu kata dan bahasa yang menyajikan makna. Saya tidak peduli lagi apakah nantinya ada orang lain yang membacanya atau apakah dengan seperti  ini saya telah menjadi penulis atau belum. Saya tidak peduli. Yang saya pedulikan adalah saya menulis. Membuka lapis demi lapis hati saya, mengurai satu demi satu keruwetan-keruwetan pikiran dan menjawab satu demi satu pertanyaan-pertanyaan yang kerap menghantui. 

Saya menulis bagai terapi hati dan otak. Dengan menuliskan kegelisahan-kegelisahan, ide-ide yang telah mengonggok terlalu lama, hati dan otak saya lebih ringan. Lebih jernih. Sebuah pengakuan telah dirayakan.  Helai demi helai kabut telah menyingkap. Saya tahu kegelisahan yang telah saya singkap akan menimbulkan kegelisahan-kegelisahan baru. Namun, kali ini saya tidak takut, karena mendadak gelisah terlihat lebih sexy. Kegelisahan hati itulah yang membuat saya membutuhkan terapi yang bernama menulis. Saya tidak lagi peduli pada keinginan saya beberapa tahun silam untuk menjadi penulis. Apakah nantinya buku saya akan terbit ataukah karya saya akan muncul di media masa. Saya tidak peduli. Yang jelas saya menikmati pertemuan ini. Pertemuan alam abstrak bernama hati dan akal yang dirundung gelisah bertahun-tahun dengan alat yang bernama kata dan bahasa. Sunggguh seperti gerimis yang mengguyur bumi yang kering bertahun tahun. Menyegarkan. Dan ada seseorang yang harus mendapat perayaan terimakasih.




















Menulislah, menulislah, menulislah..!

Banyumas, 22 April 2013

Minggu, 21 April 2013

Kompromi




Seorang teman mulai bulan ini resmi berstatus CPNS. Dia meninggalkan dunianya yang slow kayak di pulau dan santai kayak di pantai. Sekarang dia harus pagi berangkat kerja dan sore baru pulang, tidak bisa seenak udele dewe lagi. Mungkin sebagian orang akan menyatakan betapa beruntungnya dia menjadi PNS dengan jaminan gaji dan pekerjaan yang mentereng sebagai staf kementrian hukum dan HAM. Demikiankah kenyataannya. Ternyata tidak. Dia sangat sedih karena harus masuk sangkar emas. Seekor burung yang biasanya terbang bebas dan berpotensi menjadi burung yang kuat harus rela masuk sangkar emas. Meskipun terbuat dari emas sangkar tetaplah penjara bagi burung. Kenapa dia berbuat demikian, apakah sebelum ujian seleksi dia tidak mempertimbangkan akibatnya jika diterima. Tentu saja dia sangat paham dengan aturan main sebagai PNS, hanya sejak awal dia mengikuti ujian untuk memenuhi harapan ibunya. Supaya mendapat pekerjaan yang lebih layak dengan gaji yang lebih jelas daripada profesi sebelumnya, dia memiliki bisnis rental yang sedang berkembang baik. 


Seorang teman lain yang memiliki bakat sangat baik di bidang tulis menulis dan bahasa mencoba untuk mendaftar sebagai pegawai bank sesuai keinginan ibunya. Dia diterima dan dijalaninya rutinitas sebagai pegawai bank dengan baik. Meskipun akhirnya ia bisa memilih keluar sebelum diangkat pegawai tetap dengan persetujuan ibunya dan memilih menjadi editor bahasa di salah satu koran nasional.


Demi


Kawan pertama memilih untuk berkompromi dengan meninggalkan dunia bebasnya menuju rutinitas yang tidak disukainya demi orang tuanya. Kawan kedua pun memilih hal yang sama meskipun akhirnya ia mampu keluar dan menyelamatkan bakatnya di bidang bahasa. Tidak mudah memang menjalani suatu hal yang tidak disukai, menjadi orang asing bagi diri sendiri.  Tetapi tindakan asing tersebut demi menyenangkan orang tua demi penghormatan kepada orang tua mungkin nilainya lain. Niat tersebut sebagai etika terimakasih kepada orang tua dan menyebabkan Tuhan berkenan menurunkan Rahmatnya.


Saya sendiri merasakan betapa buruknya jalan hidup saya akibat terus menentang orang tua. Saya maunya ke barat orang tua maunya ke timur. Baik saya maupun orang tua sama-sama keras kepala, tidak ada yang mau mengalah. Hasilnya hidup saya tidak karu-karuan. Saya tidak akan tega menyalahkan orang tua betapapun kurang bijaknya tindakan mereka, hanya akhirnya saya harus memahami dan berkompromi. Mengurangi apa yang menjadi tuntutan-tuntutan saya dan memenuhi tuntutan orang tua demi penghormatan dan etika. Kalau jalannya licin dan berpotensi terpleset kenapa saya malah menaburinya dengan oli. Saya berusaha bermain cantik tanpa melukai diri saya dan orang tua. Ternyata dengan penghormatan ini Tuhan pun berkenan menurunkan rahmatnya. Setidaknya hati saya dilapangkan sehingga akal saya semakin jernih untuk berfikir atas semua tindakan-tindakan saya.


Pinsip Universal


Sebuah perkataan sering muncul “ Demi kebaikanmu Nak,,” dan itu menjadi kartu As yang membuat seorang anak leleh karena dogma melawan orang tua adalah perbuatan yang dikutuk. Sebenarnya ingin menjawab dengan “ Demi kebaikanmu bu, pak,,” tetapi betapa tidak hormatnya perkataan seperti itu. Apakah menjadi orang tua memang menjadi pihak yang superior yang selalu tahu jalan mana yang baik dan jalan mana yang buruk. Dan seorang anak adalah pihak yang selalu butuh tuntunan dan bimbingan supaya arahnya benar menurut selera mereka. Wah saya jadi sangat emosional. He,,he,,


Jika yang menjadi takaran adalah kebaikan saya kira kebaikan bersifat universal dan tidak memiliki kasta artinya siapapun berhak untuk berbuat baik senyampang masih hidup. Kebaikan adalah fasilitas Tuhan untuk lebih mengenal sifat Maha Baik-Nya. Dan itu gratis untuk dipakai siapapun. Penjahat, pencuri, pelacur pun masih berhak menggunakannya meskipun sederet perilaku cacat sosial telah disandang.


Kebaikan dan Kebenaran


Konon kebaikan tidak selalu benar dan kebenaran tidak selalu baik. Bisakah terjadi seperti itu, kenapa tampak rumit. Bagaimanakah menjadikan keduanya beriringan dan indah dilihat dan bisakah hal itu terjadi. Bisa saja tetapi pasti memakan korban yang tidak murah. Ada tuntutan-tuntutan mahal mengenai ego yang kita miliki untuk dikorbankan.


Tidak baik dan tidak benarkah keinginan oang tua. Tentu tidak demikian. Keinginan mereka wajar dan baik. Atau keinginan kita yang kurang pada tempatnya, tentu tidak juga. Atas hukum kemanusiaan memiliki keinginan wajar-wajar saja. Hanya bagaimana pelaksanaannya tidak menyulut percikan-percikan yang menyengat diri sendiri dan pihak lain. Bagimana mengkomunikasikan apa yang kita inginkan dengan keinginan orang lain. Nah disinilah rupanya letak baik dan benar. Tentunya dengan menurunkan tuntutan-tuntutan atas ego masing-masing pihak. Karena komunikatif besifat mendamaikan bukan menghakimi. Yah pada akhirnya mungkin tidak semua keinginan terpenuhi akan tetapi minimal terpenuhi sebagian dengan perasaan yang legowo. Setidaknya hal itu lebih baik daripada tidak terpenuhi sama sekali.


Terkadang perlu berputar jalan dulu untuk mencapai apa yang kita inginkan. Sangat sulit memang, karena kita meletakan kaki di dua sisi yang berbeda tetapi harus tetap bisa berjalan dengan baik. Namun, seringkali kompromi membuat kita menghemat energi untuk bermusuhan. Ada kesempurnaan dibalik ketidaksempurnaan. Semoga.



Banyumas, 21 April 2013

Comfort Zone



 _Untuk kartini-kartiniku_


Seorang wanita pegawai bank yang prestasinya bagus dan akan diangkat pegawai tetap memilih keluar karena merasa tidak sesuai dengan suara hatinya. Dia memilih berwirausaha dengan membuka kedai mie pedas sambil menyalurkan hobi memasaknya. Seorang teman wanita yang sudah dua tahun menjadi editor bahasa di salah satu koran nasional memilih berhenti dan memulai bisnis onlinenya sambil memulai karier menulis. Alasannya sepele karena ia ingin menjadi penulis. Seorang teman wanita yang lain sampai bertengkar dengan orang tuanaya karena perbedaan keinginan. Ia ingin menjadi dosen meskipun gajinya lebih kecil daripada menjadi staf akuntan (profesi sebelumnya) di salah satu perguruan tinggi terkemuka. Ia berharap dengan menjadi dosen memiliki kesempatan untuk melanjutkan sekolah serta lebih bisa mendedikasikan ilmunya.


Salahkah keinginan mereka, para wanita itu. Mereka ingin mengerjakan suatu hal yang sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan. Bodohkah mereka meninggalkan karier yang sedemikian bagus dengan jaminan finansial yang pasti setiap bulannya. Mereka memilih keluar dari tempatnya bekerja meskipun selanjutnya tidak ada jaminan finansial yang pasti setiap bulannya. Namun, mereka menemukan apa yang mereka cari dan hal itu tidak diperoleh di tempat kerja sebelumnya. Kenyamanan, hobi yang tersalurkan, tekanan kerja yang berkurang akibat mengerjakan pekerjaan yang tidak dikehendaki, kebutuhan aktualisasi diri yang terpenuhi dan tentunya tetap mendapatkan penghasilan.


Sebagai teman saya mendukung penuh keputusan mereka karena saya tidak tahan melihat orang yang bekerja tetapi tersiksa batinnya meskipun penghasilannya banyak. Paling tidak ketika bekerja, tidak hanya kebutuhan finansial saja yang tepenuhi tetapi kebutuhan lainnya yang justru lebih urgent bisa terpenuhi. Seperti kebutuhan dihargai sesuai kemampuan, bakat dan minatnya. Kenyamanan saat bekerja, kepuasan batin terhadap kinerja yang tentunya tidak hanya dirasakan oleh atasan tetapi bawahan sebagai pelaku seharusnya lebih merasa puas. Berkurangnya tekanan kerja yang tidak pada tempatnya. Serta yang lebih penting rasa cinta, memiliki, bangga terhadap pekerjaan. Itu yang paling penting.


Saya pikir, mereka, para wanita teman saya itu termasuk orang yang beruntung, karena berani mengambil keputusan untuk memilih apa yang menjadi impian mereka meskipun dengan finansial yang belum pasti. Namun, keberaniannya itu membuat saya merenung. Betapa banyak wanita lain yang harus bekerja karena keharusan memiliki penghasilan sendiri atau penghasilan tambahan untuk keluarganya bahkan terkadang apa yang dikerjakan tidak sesuai dengan imbalan yang diperoleh. Betapa kebutuhan akan finansial saat bekerja mengalahkan kebutuhan untuk dihargai sesuai potensi, berlaku adil dan jujur terhadap diri sendiri, dan kebutuhan untuk mencintai dan menghormati diri sendiri, mencintai dan memiliki dedikasi terhadap pekerjaan. Tidak mudah memang, tetapi keberanian mengambil keputusan untuk keluar dari zona nyaman sangat luar biasa.



Banyumas, 21 April 2013

Sabtu, 20 April 2013

Finansial dan Karier


Tahun lalu saya menghadiri buka bersama dengan kawan-kawan SMP sekaligus reuni. Ini pertamakalinya saya datang, setelah lewat sepuluh tahun. Satu dekade, bukan waktu yang singkat. Lucu rasanya melihat wajah-wajah yang lugu-lugu saat SMP sekarang menjadi berbeda bahkan ada yang sudah menggendong anak. 

Seperti biasanya kalau ketemu teman lama pastinya cerita kabar masing-masing. Kebetulan selepas SMP saya memisah dari teman-teman lainnya. Saat teman-teman melanjutkan ke SMA di kota sendiri seperti pindah tempat saja karen asaking banyaknya, saya memilih ke luar kabupaten dan berlanjut di Malang. Saya menghilang dari peredaran teman-teman SMP. Berkomunikasi kembali pun saat telah memiliki akun jejaring sosial facebook.

Pembicaraan seputar kenangan masa lalu saat SMP, kuliah, terus karier mewarnai pertemuan kami. Teman-teman saya banyak yang sukses dalam berkarier. Ada yang kerja di bank, mulai dari bank ecrek-ecrek sampai bank terkemuka di negeri ini. Ada pula yang bekerja di PJKA, PLN, Pertamina, perkapalan, Polisi, Dokter, Bidan, Apoteker, atau kerja di PT anu di luar jawa. Pokoknya  yang terdengar kerenlah. Dan ada juga yang mengajar, mulai dari mengajar di sekolah negeri, mengajar di bimbingan belajar dan ada pula yang PNS di luar Jawa. Saat saya ditanya kerja apa. Saya jawab dengan santai “ Ngajar TK .“ “ Hah, masa sih? Yang bener.” “Iya bener,” masih dengan santainya. Teman-teman saya terkejut dan tidak percaya. Saya jadi heran, apa salahnya mengajar TK. Toh ini pekerjaan halal.

me and sasha

 Saya mengerti keterkejutan mereka. Maklumlah dulu kebetulan sewaktu SMP saya termasuk murid yang pandai jadi mustahil ya menjadi guru TK yang notabene tidak banyak dilirik sebagai pekerjaan bergengsi. Selain bergaji sedikit juga repotnya itu loh,,. Saya tidak akan membela diri dengan mengatakan menjadi guru TK kan pekerjaan mulia. Ah, alasan yang menjadi tameng saja, karena memang nyatanya saya tidak mampu dan tidak tahan masuk pada perusahaan yang berduit banyak. Bisa kerana saya tidak punya kesempatan atau saya kalah bersaing alias kurang kompeten atau memang wajah saya terlalu pas-pasan untuk dijadikan karyawan bank. Bisa juga semuanya. Saya tidak akan mengutuk ‘ketidakberuntungan’ saya ini karena setelah dewasa dan berpisah sekian lama banyak hal yang berbeda dari pola pikir, keinginan, dan pengaruh lingkungan. Saya tidak akan mengatakan saya sangat bangga menjadi guru TK, ah itu terlalu sok suci keliatannya saya tidak butuh uang dan menjadi guru TK adalah pekerjaan ‘sekarat’ secara finansial. Hanya saja saya menyenangi pekerjaan ini. Senang rasanya melihat perkembangan anak-anak. Saat bersama mereka rasanya dunia orang dewasa yang saya miliki hilang sementara. Saya berubah menjadi anak-anak yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Kurang bahagiakah masa kecil saya. Bisa jadi begitu, tetapi menyelami dunia anak harus menjadi anak-anak pula. 

Eh, kenapa saya jadi ngelantur kemana-mana, kembali ke soal karier berduit. Jika jumlah kekayaan berbanding lurus dengan kepandaian dan ketinggian pendidikan saya kira hal ini tidak berlaku bagi Bob Sadino dan pengusaha-pengusaha lain yang kadangkala hanya lulusan SD. Bahkan banyak pula sarjana yang menganggur. Apakah menjadi kaya dan memiliki pekerjaan yang menjanjikan dari segi finansial adalah hal yang luar biasa. Jika iya, maka teman-teman saya memang luar biasa dan saya biasa-biasa saja. Tetapi bukankah sesuatu yang sudah umum terjadi adalah hal yang biasa-biasa saja, wajar adanya. Jadi seharusnya sayalah yang luar biasa karena berbeda pilihan dengan teman-teman. Dengan kepandaian dan ketinggian pendidikan hanya bernasib menjadi guru TK yang biasa-biasa saja. Ah, semoga kali ini bukan pembelaan nasib karena saya hanya bisa menjadi guru TK bergaji rendah. Tanpa prestisius apapun.

Banyumas, 20 April 2013