; sebuah catatan buat Dek Widadatun yang telah berpulang pada kamis, 7 Maret 2013
Berita berpulangnya Dek Widadatun malam jumat kemarin
tanggal 7 Maret 2013 cukup mengejutkan. Saya sempat tidak percaya, tetapi
setelah tanya ke teman-teman yang masih di pesantren ternyata berita itu benar
adanya. Terlepas apapun penyebab kematiannya pastinya tak lepas dari kuasa
Tuhan.
Saya mengenalnya karena ia tetangga kamar. Anaknya baik,
rajin, aktif, pintar tapi tidak terlalu suka bikin kisruh. Memori saya sedikit
memberi perhatian khusus karena sama-sama kuliah di jurusan psikologi meski
beda kampus. Yah, selama di Pesantren Luhur jurusan psikologi jarang-jarang
ada. Apalagi yang dari kampus UM atau UB. Saya pun harus menunggu lulus untuk
punya penerus jurusan psikologi kampus UM yang mau di Pesantren Luhur.
Saya tidak berani membayangkan bagaimana seandainya saya di
posisi dek Wida saat menghadapi sakarotul
maut ataupun bagaimana ia menjalani hari-hari sakitnya menjelang
kepulangannya. Saya terlalu penakut untuk membayangkan hal-hal seperti itu. Hanya
saya pernah membayangkan kematian ketika pasca
operasi kecelakaan dan saya merasakan kenyerian yang luar biasa. Saat itu saya
berfikir, Tuhan andai saya berakhir hari ini biarlah saya rela dengan semua
perbuatan saya apapun itu. Nyatanya saya masih diberi kesempatan bernafas
hingga hari ini. Alhamdulillah.
Kenyataannya kematian bisa menghampiri siapapun, tetapi saya
sedikit tidak rela jika itu menimpa teman dekat apalagi usianya masih muda. Saat
itu saya lupa bahwa banyak sekali kematian menghampiri anak-anak, bayi bahkan janin
yang masih di kandungan. Setiap kematian orang baik apalagi saya mengenalnya
dengan baik atau saya mengagumi sosoknya selalu membuat hati saya melompong. Saya
membutuhkan waktu untuk berdiam, menikmati sensasi kehilangan, merenung
berlama-lama bahkan kadang membuat saya tidak doyan makan, tidur dan ngomong. Batok
kepala saya seperti diketok palu dan butuh waktu sekian jenak untuk
menghilangkan sensasi sakitnya. Banyak soal yang terlintas di benak saya dan
semuanya minta diurai.
Saat seseorang mati dalam keadaan yang baik, entah itu
harinya baik, atau jasadnya begitu damainya atau kematiannya demikian mudahnya membuat
saya semakin tercenung. Saya sempatkan untuk mengaduk-aduk memori saya
tentangnya. Mengenang segala apa yang sudah diperbuatnya selama di dunia. Hal apakah
yang membuat kematian menghampirinya seperti seorang sahabat lama. Apakah memang
sebelumnya dia telah tahu sehingga bisa berkompromi untuk memilih hari yang
baik, saat yang baik dan dengan cara yang baik. Tetapi, siapakah orangnya yang
diberi kesempatan untuk memilih hal-hal tersebut.
Cita-cita, Tujuan,
Impian
Apabila seseorang ingin mencapai sebuah impian atau
cita-cita idealnya dia akan mempersiapkan segala hal untuk menunjang
cita-citanya itu. Setiap hari dirancangnya dengan tepat, akurat supaya segera
tercapai cita-citanya. Artinya hari-harinya dirancang sedemikian cermatnya demi
tercapainya cita-cita, tujuan dan impian yang dikehendaki. Tentunya bila kita hendak
bepergian ke suatu tempat, jauh-jauh hari kita telah memikirkan berapa ongkosnya,
bawa bekal apa, bawa baju berapa, naik apa, berangkat jam berapa apalagi jika
tempat itu belum pernah kita kunjungi, tentunya persiapan kita akan lebih cermat.
Kita akan sedapat-dapatnya mencari tahu keadaan lokasi yang akan kita kunjungi.
Bagaimana suasananya, panaskah, dinginkah, ada kendaraan untuk kesana atau
tidak, jauhkah dan lain sebagainya. Namun, ada juga beberapa orang yang merasa
tidak perlu bersiap-siap entah karena nekat atau merasa yakin tidak akan
tersesat atau alasan lainnya. Yang menjadi permasalahan adalah apabila
seseorang tidak tahu tujuan yang akan dicapai atau bolehlah saya katakan tidak
punya cita-cita. Jadi dia oke aja kemana kaki membawanya melangkah tanpa tujuan
yang pasti bahkan tidak tahu tersesat atau tidak dan tak terasa umur sudah tua
tanpa bisa merasakan indah dan sengsaranya hidup. Ketika kakinya berhenti
melangkah maka berakhirlah perjalanannya.
Pada titik tersebut saya berfikir betapa pentingnya
menetapkan tujuan, cita-cita, atau impian. Paling tidak langkah menjadi terarah
pun jika tersesat bisa melihat peta yang sudah dipersiapkan. Dan parahnya tak
pernah terfikirkan dalam benak saya untuk menjadikan hari kematian, cara
kematian, tempat kematian, husnul
khotimah atau su’ul khotimah
sebagai tujuan, cita-cita atau impian. Bukankah hidup di dunia tidak kekal dan
masih ada hidup lain setelah ini yang menanti artinya masih ada tempat lain
yang harus saya kunjungi atau ada tujuan lain yang nantinya akan saya capai.
Patut sekali lagi bahkan mungkin berkali-kali untuk saya tarik-tarik
dan ulur-ulur, jika semua manusia akan berujung pada tujuan kematian, pada alam
lain yang menantinya bukankah seharusnya saya fokus pada tujuan yang pasti akan
ditempuh itu. Harus dipersiapkan dengan matang kapanpun kereta akan berangkat. Menyiapkan
bekal secukup-cukupnya. Menyiapkan peta sedetail-detailnya supaya tidak
tersesat bahkan memilih kereta apa yang akan membawa kita. Kelas ekonomikah,
bisniskah, atau eksekutifkah.
Pertanyaan yang
mengedor-gedor kepala saya adalah beranikah saya menjadikan cara kematian, hari
kematian, tempat kematian, husnul
khotimah atau su’ul khotimah
sebagai tujuan hidup, sedang jelas-jelas saya masih bernafas dan sehat walafiat.
Masih banyak impian, cita-cita, dan tujuan dalam hidup yang ingin saya penuhi. Sudah
gilakah saya berani merancang kematian saya sedang itu merupakan rahasia Tuhan
Maha Kuasa. Tetapi bukanakah terkadang butuh keberanian yang benar-benar
mendekati kegilaan untuk mencapai impian, cita-cita, dan tujuan yang tidak
lumrah bagi kebanyakan orang. Entahlah. Mudah diucapkan tetapi sulit
dilaksanakan rupanya.
Buat Dek Wida, psikolog Indonesia kehilangan salah satu calon
terbaiknya. Selamat jalan Dek, semoga jalanmu dilapangkan Tuhan.
Banyumas, 9 Maret 2013 ; 03:00
nice
BalasHapus