Sabtu, 09 Maret 2013

Beranikah Saya Bermimpi, Bercita-cita dan Memiliki Tujuan?

 ; sebuah catatan buat Dek Widadatun yang telah berpulang pada kamis, 7 Maret 2013



Berita berpulangnya Dek Widadatun malam jumat kemarin tanggal 7 Maret 2013 cukup mengejutkan. Saya sempat tidak percaya, tetapi setelah tanya ke teman-teman yang masih di pesantren ternyata berita itu benar adanya. Terlepas apapun penyebab kematiannya pastinya tak lepas dari kuasa Tuhan. 


Saya mengenalnya karena ia tetangga kamar. Anaknya baik, rajin, aktif, pintar tapi tidak terlalu suka bikin kisruh. Memori saya sedikit memberi perhatian khusus karena sama-sama kuliah di jurusan psikologi meski beda kampus. Yah, selama di Pesantren Luhur jurusan psikologi jarang-jarang ada. Apalagi yang dari kampus UM atau UB. Saya pun harus menunggu lulus untuk punya penerus jurusan psikologi kampus UM yang mau di Pesantren Luhur.


Saya tidak berani membayangkan bagaimana seandainya saya di posisi dek Wida saat menghadapi sakarotul maut ataupun bagaimana ia menjalani hari-hari sakitnya menjelang kepulangannya. Saya terlalu penakut untuk membayangkan hal-hal seperti itu. Hanya saya pernah membayangkan kematian ketika pasca operasi kecelakaan dan saya merasakan kenyerian yang luar biasa. Saat itu saya berfikir, Tuhan andai saya berakhir hari ini biarlah saya rela dengan semua perbuatan saya apapun itu. Nyatanya saya masih diberi kesempatan bernafas hingga hari ini. Alhamdulillah


Kenyataannya kematian bisa menghampiri siapapun, tetapi saya sedikit tidak rela jika itu menimpa teman dekat apalagi usianya masih muda. Saat itu saya lupa bahwa banyak sekali kematian menghampiri anak-anak, bayi bahkan janin yang masih di kandungan. Setiap kematian orang baik apalagi saya mengenalnya dengan baik atau saya mengagumi sosoknya selalu membuat hati saya melompong. Saya membutuhkan waktu untuk berdiam, menikmati sensasi kehilangan, merenung berlama-lama bahkan kadang membuat saya tidak doyan makan, tidur dan ngomong. Batok kepala saya seperti diketok palu dan butuh waktu sekian jenak untuk menghilangkan sensasi sakitnya. Banyak soal yang terlintas di benak saya dan semuanya minta diurai.


Saat seseorang mati dalam keadaan yang baik, entah itu harinya baik, atau jasadnya begitu damainya atau kematiannya demikian mudahnya membuat saya semakin tercenung. Saya sempatkan untuk mengaduk-aduk memori saya tentangnya. Mengenang segala apa yang sudah diperbuatnya selama di dunia. Hal apakah yang membuat kematian menghampirinya seperti seorang sahabat lama. Apakah memang sebelumnya dia telah tahu sehingga bisa berkompromi untuk memilih hari yang baik, saat yang baik dan dengan cara yang baik. Tetapi, siapakah orangnya yang diberi kesempatan untuk memilih hal-hal tersebut.


Cita-cita, Tujuan, Impian


Apabila seseorang ingin mencapai sebuah impian atau cita-cita idealnya dia akan mempersiapkan segala hal untuk menunjang cita-citanya itu. Setiap hari dirancangnya dengan tepat, akurat supaya segera tercapai cita-citanya. Artinya hari-harinya dirancang sedemikian cermatnya demi tercapainya cita-cita, tujuan dan impian yang dikehendaki. Tentunya bila kita hendak bepergian ke suatu tempat, jauh-jauh hari kita telah memikirkan berapa ongkosnya, bawa bekal apa, bawa baju berapa, naik apa, berangkat jam berapa apalagi jika tempat itu belum pernah kita kunjungi, tentunya persiapan kita akan lebih cermat. Kita akan sedapat-dapatnya mencari tahu keadaan lokasi yang akan kita kunjungi. Bagaimana suasananya, panaskah, dinginkah, ada kendaraan untuk kesana atau tidak, jauhkah dan lain sebagainya. Namun, ada juga beberapa orang yang merasa tidak perlu bersiap-siap entah karena nekat atau merasa yakin tidak akan tersesat atau alasan lainnya. Yang menjadi permasalahan adalah apabila seseorang tidak tahu tujuan yang akan dicapai atau bolehlah saya katakan tidak punya cita-cita. Jadi dia oke aja kemana kaki membawanya melangkah tanpa tujuan yang pasti bahkan tidak tahu tersesat atau tidak dan tak terasa umur sudah tua tanpa bisa merasakan indah dan sengsaranya hidup. Ketika kakinya berhenti melangkah maka berakhirlah perjalanannya. 


Pada titik tersebut saya berfikir betapa pentingnya menetapkan tujuan, cita-cita, atau impian. Paling tidak langkah menjadi terarah pun jika tersesat bisa melihat peta yang sudah dipersiapkan. Dan parahnya tak pernah terfikirkan dalam benak saya untuk menjadikan hari kematian, cara kematian, tempat kematian, husnul khotimah atau su’ul khotimah sebagai tujuan, cita-cita atau impian. Bukankah hidup di dunia tidak kekal dan masih ada hidup lain setelah ini yang menanti artinya masih ada tempat lain yang harus saya kunjungi atau ada tujuan lain yang nantinya akan saya capai. 


Patut sekali lagi bahkan mungkin berkali-kali untuk saya tarik-tarik dan ulur-ulur, jika semua manusia akan berujung pada tujuan kematian, pada alam lain yang menantinya bukankah seharusnya saya fokus pada tujuan yang pasti akan ditempuh itu. Harus dipersiapkan dengan matang kapanpun kereta akan berangkat. Menyiapkan bekal secukup-cukupnya. Menyiapkan peta sedetail-detailnya supaya tidak tersesat bahkan memilih kereta apa yang akan membawa kita. Kelas ekonomikah, bisniskah, atau eksekutifkah. 


Pertanyaan yang mengedor-gedor kepala saya adalah beranikah saya menjadikan cara kematian, hari kematian, tempat kematian, husnul khotimah atau su’ul khotimah sebagai tujuan hidup, sedang jelas-jelas saya masih bernafas dan sehat walafiat. Masih banyak impian, cita-cita, dan tujuan dalam hidup yang ingin saya penuhi. Sudah gilakah saya berani merancang kematian saya sedang itu merupakan rahasia Tuhan Maha Kuasa. Tetapi bukanakah terkadang butuh keberanian yang benar-benar mendekati kegilaan untuk mencapai impian, cita-cita, dan tujuan yang tidak lumrah bagi kebanyakan orang. Entahlah. Mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan rupanya.




Buat Dek Wida, psikolog Indonesia kehilangan salah satu calon terbaiknya. Selamat jalan Dek, semoga jalanmu dilapangkan Tuhan.




Banyumas, 9 Maret 2013 ; 03:00  

1 komentar: