Aku membayangkan sebuah tempat yang nyaman, bersahabat,
meneduhkan dari apapun, dan membuatku selalu ingin pulang. Konon orang-orang
menyebutnya ‘rumah’. Kata itu pernah tidak kumengerti sampai seperempat abad
usiaku. Aku mencari-carinya bahkan aku menemukan rumah-rumah singgah yang
membuatku nyaman. Meski sejak lahir aku pun sudah memiliki rumah. Rumah milik
orang tuaku di Banyumas. Tetapi masih saja aku mencari rumah yang benar-benar
membuatku selalu kembali dan membuatku nyaman. Benar-benar nyaman.
Aku memiliki beberapa rumah tinggal selain rumah orang tuaku di Banyumas. Saat kuliah, pesantrenku di Malang adalah rumahku. Tempat aku memperoleh rasa bebas dan menemukan Profesorku. Meski aku merasa telat juga untuk mengakuinya sebagai rumah, tapi Pesantren Luhur Malang adalah rumahku sampai kapanpun. Rumah keduaku adalah UKM Penulis UM tempat aku mengenal perempuan-perempuan hebat untuk hidupku. Disini aku mendapat teman untuk berbagi dan selalu menerimaku jam berapapun aku pulang. Meski kuliah jam berapapun selalu kusempatkan untuk menengok kondisinya. Pun sekarang aku memiliki rumah di Jogja. Pesantren Nurul Ummahat serasa at home bagiku.
Benarkah rumah adalah sebuah bangunan yang terbuat dari
bata, semen, kawat dan bahan bangunan lainnya. Yang terdiri dari pondasi,
tembok, atap, ada pula jendela, lantai dan aksesoris lainnya. Aku bisa berteduh
dari panas dan hujan yang mengguyur. Bisa tidur dengan nyaman. Begitukah yang
disebut rumah. Entahlah. Nyatanya selama seperempat abad aku masih mencari apa
itu rumah.
Apakah rumah orang tuaku tidak menyenangkan? Tentu saja
tidak. Rumah orang tuaku sangat menyenangkan tetapi kadang pula menjadi tidak
menyenangkan terkait perbedaan kepentingan dan pendapat yang berkembang dari 6
kepala yang menghuninya. Hingga dalam perjalanan seperempat abad usiaku masih
saja mencari rumah. Ya rumah, tempat yang akan selalu kukunjungi sejauh apapun
aku pergi meninggalkannya.
Lama aku mencari-cari hingga aku lelah dan ingin
menghentikan pencarianku. Kutelusuri semua jalan yang pernah kulalui. Aku
terdiam mengeja perjalanan yang telah lampau. Apakah sebenarnya yang kucari dan
masih saja membuatku tidak nyaman. Saat aku harus berani mengakui kesalahan-kesalahan
yang telah kuperbuat, kesedihan-kesedihan yang ada, menundukkan egoku, mengakui
fakta dan realita yang kumiliki dan berusaha menerima apapun yang telah Tuhan
berikan dengan sebuah pemahaman bahwa Tuhan selalu Maha Kasih. Setelah kuhitung-hitung
ternyata pemberian Tuhan amat sangat banyaknya. Fisik yang sempurna, keluarga
yang sangat baik, teman-teman hebatku, guru-guru terbaikku, dan lain hal yang
tak dapat kusebut satu-satu. Aku merasa woow ini sangat sempurna. Dan
kesemuanya itu tersimpan rapi dalam hatiku. Ya di hatiku bukan di akalku, karna
aku menyimpan mereka dengan rasa cinta yang tidak bisa kuganti dengan benci
bahkan untuk orang-orang yang telah mengecewakanku. Mereka tersimpan rapi, dan
kehangatannya masih bisa kurasakan saat aku kedinginan dan memberi rasa nyaman
yang luar biasa dengan penuh syukur bahwa aku memiliki mereka, mengenal mereka
untuk hidupku. Bahkan mereka tidak perlu pergi kemana-mana dan akupun tidak
perlu kemana-mana karna mereka selalu kubawa di hatiku. Kemanapun aku pergi
mereka kubawa bahkan kehangatannnya selalu kurasakan. Ah,, kalian tak akan
terganti.
Tuhan,, akhirnya aku menemukan rumah yang selama ini kucari.
Ternyata telah aku bawa sejak lahir. Rumahku adalah hatiku, tempat aku
merasa nyaman, tempat aku merasakan cinta dariMu, dari orang-orang terkasihku,
dan dari orang-orang yang berjasa untuk adaku. Ah, ternyata sesederhana itu
arti rumah untukku. Selama hatiku merasa lapang, nyaman, dan sumeleh dengan semua kehendakMu serta
bersyukur dengan semua rupa nikmat yang Engkau beri, selama itu pula aku
menemukan rumah. Rumahku adalah hatiku, yang akan selalu kurawat, kubersihkan,
kusemai dengan benih-benih kebaikan dan Cinta dariMu supaya buahnya bisa
kunikmati di surgaMu. Semoga.
Banyumas, 7 maret 2013