Kamis, 18 April 2013

x Factor



Sejak kecil sebenarnya saya akrab dengan sakit. Mungkin dalam keluarga yang paling sering sakit adalah saya. Waktu kecil saya punya sakit seperti step tapi bukan. Jadi kalau terjatuh saya pingsan dan gigi terkatup rapat-rapat. Jika gigi sudah bisa dipisahkan baru saya sadar. Menjelang masuk sekolah dasar sakit ini sembuh hanya saja pingsannya masih berlanjut sampai dewasa. Sampai perguruan tinggi saya masih pingsan sewaktu-waktu. Hanya saja saya lebih bisa mengontrol pingsan dengan baik. Artinya saya bisa merasakan perubahan kondisi tubuh ketika akan jatuh pingsan, tinggal memilih untuk membiarkan sensasi itu berkembang terus atau menghentikannya. Pingsan hanya sebentar, kemudian sadar dengan kondisi tubuh yang lebih segar dan lebih baik. Kadang-kadang saya merindukan pingsan karena setelah sadar tubuh menjadi lebih segar. Seperti laptop yang kadangkala butuh di restart. Lama-lama menjelang kelulusan sensasi ketika hendak pingsan menghilang dengan sendirinya. Sebagai anak kampung yang suka blusaukan di sawah atau pekarangan tentunya penyakit gatal-gatal di kulit sangat akrab dengan saya. Sejak kecil pun saya sering gatal-gatal. Kemudian saat kelas 3 MI saya terkena tipus, meskipun masih gejala. 


Keluarga saya menyukai masakan pedas, jadi sejak kecil saya sudah sangat akrab dengan pedas. Meskipun kondisi lambung saya sudah tidak baik akibat sakit tipus, tetapi saya tetap bandel dan menyukai masakan pedas dipadu dengan minuman jeruk nipis yang asam. Ditambah lagi sejak SMA saya sangat suka begadang dan minum kopi yang akan semakin memperburuk kondisi lambung saya. Jika ada teman yang asyik diajak ngobrol, maka sampai pagi pun saya layani. Sampai saat kuliah di Malang yang dingin saya sangat sering sakit. Fluktuasi cuaca yang tidak menentu dan pola hidup yang tidak teratur membuat saya sering terkena flu, batuk, demam, ulu hati yang nyeri setelah minum kopi dan masuk angin setiap hari. Mungkin saya memang tidak cocok dengan udara dingin, tetapi saya tetap mencintai begadang, minum kopi, masakan pedas, minum asam dan kadangkala terkena asap rokok. Tubuh saya menjadi sangat rentan, tatapi berkat kebandelan yang saya pelihara membuatnya bisa bertahan. Kebiasaan yang tidak teratur itu pun membuat paru-paru saya agak infeksi. Hingga dokter memilih untuk memvonis TBC, meskipun hasil tes dahak, darah, dan urine saya negatif. Jadi saya harus mengonsumsi obat subsidi pemerintah bagi penyandang TBC selama 6 bulan. Belum lagi saya terpaksa harus rela mengonsumsi obat dokter akibat tamu bulanan yang sempat tidak teratur selama beberapa tahun. Menyedihkan memang.


Dengan riwayat yang seperti itu seharusnya saya berlangganan dengan dokter dan obat. Namun, saya berusaha sebisanya untuk tidak ke dokter ketika sakit. Kecuali sangat parah. Saya tidak suka minum obat sejak terkena sakit tipus sewaktu MI dulu. Membosankan dan melelahkan. Minum obat dan dokter adalah dua hal yang saya hindari. Jika saya bisa sembuh tidak dengan dokter dan obat maka saya akan memilihnya meskipun waktu sembuh lebih lama. Seperti sakit flu, batuk, demam sebisanya saya menghindari obat. Saya memilih untuk istirahat seharian, minum air putih, vitamin dan madu. Selain membosankan dan melelahkan, minum obat membuat tubuh saya tergantung dengan zat kimia yang terkandung dalam obat. Saya berusaha sedapatnya mengurangi. 


Sayangnya saat kecelakaan saya harus mengonsumsi obat dalam jangka waktu yang lumayan lama. Seandainya bisa memilih, saya tidak akan mengonsumsi obat berbahan zat kimia. Nyatanya saya berobat ke dokter bukan ke tukang sulap, jadi saya diberi obat dalam jumlah yang tidak sedikit dalam kurun waktu berbulan-bulan. Menyebalkan, karena sebenarnya saya menghindari dokter dan obat. Dalam pandangan saya penyembuhan dokter sangat lamban. Bayangkan saja, kaki dan tangan patah kemudian dioperasi disambung dengan pen dan diberi obat. Setiap kali kontrol diberi obat lagi bahkan kadang diminta bergerak tanpa diberi aba-aba dulu. Untuk kasus patah kaki mungkin langsung bisa menggunakan kruk tetapi untuk saya harus menunggu 4 bulan untuk menguatkan tulang tangan baru boleh memakai kruk. Saya bukan orang yang telaten dengan semua petunjuk dokter, bukan karena saya sudah tidak sabar ingin berlari, tetapi saya sempat kesal dengan dokter.  Pernah suatu ketika saat kontrol, saya langsung diberi obat begitu saja tanpa ditanya bagaimana perkembangan luka. Apakah obat benar-benar bisa mengkomunikasikan kondisi saya. Nyeri-nyeri, otot yang terpelintir, aliran darah yang tidak lancar, badan yang masih kaku apa benar bisa dikembalikan dengan obat. Saya kurang begitu percaya sehingga saya nekat untuk memanggil tukang pijat. Tukang pijat itulah yang membetulkan otot dan urat-urat yang terpelintir, tentunya dia tidak berani memijit daerah luka. Berkat pijitannya aliran darah tubuh saya lebih lancar dan badan lebih ringan dan nyaman. Dengan demikian saya lebih mudah untuk melatih kembali otot tubuh untuk bergerak. 


Bagi saya, orang yang jatuh dengan benturan yang keras meskipun yang terluka adalah kakinya tetapi sebenarnya aliran darah ke seluruh tubuhnya mengalami hambatan. Sehingga yang perlu diperhatikan tidak hanya bagian yang luka tetapi seluruh tubuh perlu dikembalikan secara pelan-pelan. Hal inilah yang tidak saya dapatkan dari proses yang dilakukan dokter. Dokter hanya mengoperasi, memberi obat kemudian menuntut untuk menggerakan tanpa mendeteksi apakah otot tubuh yang digunakan untuk begerak sudah tidak ada yang terpelintir. Tentunya jika masih ada yang terpelintir, selain rasanya lebih sakit dan bukankah akan merusak tubuh juga. Jika boleh saya umpamakan dengan matematika maka metode dokter seperti perolehan angka 4 yang sebatas 2+2. Padahal bisa saja 0+4, 1+3, 3+1, dan 4+0. Banyak kemungkinan kan?


Untuk kasus patah tulang, kunci kesembuhan ada pada pasien. Banyak kasus dimana pasien tidak bisa kembali menggerakan tubuhnya dengan sempurna. Hal itu terjadi karena pasien malas berlatih bergerak. Bisa karena tidak mampu manahan sakit, atau sudah terlena dengan istirahat yang panjang, jadi karena terbiasa tidak bergerak maka malas menggerakan. Hal ini sangat berbahaya apalagi tulang yang tidak lagi muda. Jika kondisi otot sudah mengeras maka sudah sulit untuk dilatih. Jika pasien tidak mau berlatih maka dokter akan membantunya dengan obat. Lagi-lagi obat yang berkomunikasi dengan otot. Itulah maka saya berusaha berlatih sebaik-baiknya supaya semakin sedikit mengonsumsi obat, sampai-sampai perawat saya khawatir karena gerakan saya sudah terlalu maju untuk jenis sakit yang sama dan terkesan serampangan, meskipun sebenarnya masih dalam koridor dokter. Dia khawatir dengan kondisi tulang saya. Tetapi dengan demikian perkembangan saya lebih baik. Sebenarnya berkat bantuan dukun pijat juga yang berhasil melancarkan aliran darah di tempat-tempat yang terkena imbas patah tulang. Saya juga sempat protes dalam hati dengan dokter karena suatu ketika saat kontrol diminta untuk merenggangkan jari-jari tangan dengan sempurna dan saya sudah bisa. Kemudian saat kontrol berikutnya saya diminta untuk hal serupa. Saya tersinggung sebenarnya. Bukankah itu sudah bulan lalu, seharusnya perkembangan gerak saya sudah lebih baik kenapa saya tidak diminta menunjukan perkembangan gerakan selanjutnya. Saya kesal dengan dokter.  


Seringkali saat kontrol sayalah yang lebih cerewet dengan dokter untuk menanyakan perkembangan luka. Menanyakan kemungkianan-kemungkinan yang terjadi jika gerakan berlebihan dan mengkonsultasikan perkembangan dan hambatan yang saya rasakan. Saat pemberian obat saya bernegosiasi untuk tidak mengonsumsi obat yang sudah tidak diperlukan meskipun secara umum seharusnya masih mengonsumsi. Saya memilih untuk bernegosiasi dengan dokter, selain mengurangi konsumsi obat juga menghemat biaya. Ah, saya pasien yang cerewet memang.


Sebenarnya saya tidak terbiasa untuk mengalihkan tanggungjawab kondisi badan saya pada orang lain. Saya harus benar-benar mengetahui dan memahami kondisi badan apalagi ketika sakit. Ini adalah badan saya dan sayalah yang merasakan sakit. Betapa bandelnya saya memang. Dengan memahami kondisi badan, saya akan bisa mengukur dan menakar aktifitas saya saat sakit. Hanya terhadap sakit yang tidak saya kenal baik, saya akan berusaha mengonsultasikannya dengan pihak lain salah satunya dokter sampai saya benar-benar memahami dimana positifnya dan dimana negatifnya. 

 
Mungkin selamanya saya tidak bisa berdamai dengan dokter apalagi dokter yang memonopoli kondisi kesehatan saya. Bagi saya kesembuhan orang sakit adalah X factor. Selain obat bisa berupa kondisi psikis, perawatan keluarga, keikhlasan untuk menerima kondisi fisiknya, sikap optimis dan semangat untuk sembuh, pemahaman terhadap kondisi tubuh serta doa. Diatas itu semua masih ada Tuhan sebagai pemilik sakit sekaligus pemilik obat. Jadi saat sakit, saya akan berusaha mencari dan memahami X factor sebaik-baiknya.



Banyumas, 15 April 2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar