Rabu, 17 April 2013

Nagasasra Sabuk Inten, Keris-Keris Tak Bertuan



Singgih Hadi Mintardja, nama itu mungkin agak asing bagi jagat sastra Indonesia terbukti beliau tak masuk dalam angkatan sastra manapun. Namun, bagi penggemar cerita silat tentu tak asing dengannya, karena beliau adalah salah satu maestro cerita silat Indonesia. Salah satu karya yang  saya baca berulang-ulang adalah Nagasasra Sabuk Inten. Novel berlatar sejarah kerajaan Demak di masa Sultan Trenggana.

Novel dengan tokoh utama seorang ksatria bernama Mahesa Jenar, seorang prajurit pengawal raja yang memilih keluar dari keprajuritan dan memilih pengabdian di luar istana. Dalam setiap novelnya beliau selalu sukses melukiskan tentang kepahlawanan, kecintaan pada rakyat kecil dan tanah air, kesetiaan pada kebenaran serta hukuman bagi setiap kemungkaran. Cerita diawali dengan keluarnya Mahesa Jenar dari keprajuritan dan memilih berjuang di luar kerajaan sambil menemukan keris pusaka kerajaan yang hilang yakni keris Nagasasra dan keris Sabuk Inten. Konon, seorang raja biasanya dibekali dengan senjata ampuh atau keris ampuh. Keris Nagasasra dan keris Sabuk Inten adalah keris yang siapapun berhasil menaklukannya akan menduduki tahta. Tanda sesorang sanggup mengusai kedua keris itu adalah pamor cahaya kebiruan dan kekuningan yang dimiliki keris tersebut lenyap saat dipegang. Keris itu tak ubahnya keris sebagaimana biasanya.

Keris Nagasasra atau sering disebut kyai Nagasasra memiliki watak disuyudi oleh kawula, dicintai dan disegani oleh rakyat. Dengan demikian ia akan memiliki segala unsur sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat yang demikian memang seharusnya dimiliki oleh setiap pemimpin. Pancaran dari cinta kasih Tuhan, peri kemanusiaan, memberi perlindungan kepada orang yang kehujanan dan kepanasan, memberi makan kepada orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, memberi tuntunan bagi yang kehilangan jalan.

Keris Sabuk Inten atau sering disebut Kyai Sabuk Inten mempunyai watak seperti lautan. Luas tanpa tepi. Menampung segala arus sungai dari manapun datangnya. Mampu menerima banjir yang bagaimanapun besarnya namun gelombangnya dapat menunjukkan kedahsyatan dan kesediaan bergerak dan bahkan selalu bergerak. Watak yang demikianlah yang memungkinkan seseorang dapat menemukan yang belum pernah diketemukan. Dan karenanyalah kesejahteraan rakyatnya dapat dijamin. Kesejahteraan lahir dan batin. Memberi kesempatan kepada mereka untuk mengalirkan airnya dan ditampung tanpa batas, yang kemudian akan menjadi unsur gelombang yang dapat beriak dengan manisnya, namun dapat bergulung-gulung dengan dahsyatnya, seolah-olah lautan itu sedang mendidih.

SH Mintardja sukses menggambarkan sosok pemimpin dengan cara siapapun yang bisa memiliki dan menguasai kedua keris tersebut. Bukan menguasai wadagnya saja tetapi jiwa keris itu telah luluh dalam diri seseorang. Sifat-sifat keris yang sudah mendarah daging dalam benak seseorang, dialah pemimpin. Seorang yang dicintai, disegani, disuyudi oleh rakyatnya dan memiliki watak seperti lautan tanpa mengaku-aku sehingga tidak perlu diiklankan ataupun dibangun citranya. Karena rakyat telah mengatahui citra dirinya. Seandainya para pemimpin mau membaca karya beliau, mereka tidak akan berani mencitrakan diri sebagai pemimpin. Karena keris Nagasasra dan Sabuk Inten tidak luluh dalam jiwa mereka.

Mungkin sekarang novel itu tidak populer, apalagi dalam jagad sastra Indonesia. Tetapi harus saya akui bahwa salah satu sumber wawasan sastra yang saya miliki adalah beliau dengan karya-karyanya. Karya yang tidak populer hingga pesan-pesan nasionalismenya pun tidak populer. Sayang sekali, maestro sebesar itu tidak diakui angkatan sastra manapun.



Banyumas, 12 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar