Singgih Hadi Mintardja, nama itu mungkin agak asing bagi jagat
sastra Indonesia terbukti beliau tak masuk dalam angkatan sastra manapun. Namun,
bagi penggemar cerita silat tentu tak asing dengannya, karena beliau adalah
salah satu maestro cerita silat Indonesia. Salah satu karya yang saya baca berulang-ulang adalah Nagasasra
Sabuk Inten. Novel berlatar sejarah kerajaan Demak di masa Sultan Trenggana.
Novel dengan tokoh utama seorang ksatria bernama Mahesa
Jenar, seorang prajurit pengawal raja yang memilih keluar dari keprajuritan dan
memilih pengabdian di luar istana. Dalam setiap novelnya beliau selalu sukses
melukiskan tentang kepahlawanan, kecintaan pada rakyat kecil dan tanah air,
kesetiaan pada kebenaran serta hukuman bagi setiap kemungkaran. Cerita diawali
dengan keluarnya Mahesa Jenar dari keprajuritan dan memilih berjuang di luar
kerajaan sambil menemukan keris pusaka kerajaan yang hilang yakni keris
Nagasasra dan keris Sabuk Inten. Konon, seorang raja biasanya dibekali dengan
senjata ampuh atau keris ampuh. Keris Nagasasra dan keris Sabuk Inten adalah
keris yang siapapun berhasil menaklukannya akan menduduki tahta. Tanda sesorang
sanggup mengusai kedua keris itu adalah pamor cahaya kebiruan dan kekuningan yang
dimiliki keris tersebut lenyap saat dipegang. Keris itu tak ubahnya keris
sebagaimana biasanya.
Keris Nagasasra atau sering disebut kyai Nagasasra memiliki
watak disuyudi oleh kawula, dicintai dan disegani oleh rakyat. Dengan demikian
ia akan memiliki segala unsur sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat yang
demikian memang seharusnya dimiliki oleh setiap pemimpin. Pancaran dari cinta
kasih Tuhan, peri kemanusiaan, memberi perlindungan kepada orang yang kehujanan
dan kepanasan, memberi makan kepada orang yang kelaparan, memberi pakaian
kepada orang yang telanjang, memberi tuntunan bagi yang kehilangan jalan.
Keris Sabuk Inten atau sering disebut Kyai Sabuk Inten
mempunyai watak seperti lautan. Luas tanpa tepi. Menampung segala arus sungai
dari manapun datangnya. Mampu menerima banjir yang bagaimanapun besarnya namun
gelombangnya dapat menunjukkan kedahsyatan dan kesediaan bergerak dan bahkan
selalu bergerak. Watak yang demikianlah yang memungkinkan seseorang dapat
menemukan yang belum pernah diketemukan. Dan karenanyalah kesejahteraan
rakyatnya dapat dijamin. Kesejahteraan lahir dan batin. Memberi kesempatan
kepada mereka untuk mengalirkan airnya dan ditampung tanpa batas, yang kemudian
akan menjadi unsur gelombang yang dapat beriak dengan manisnya, namun dapat
bergulung-gulung dengan dahsyatnya, seolah-olah lautan itu sedang mendidih.
SH Mintardja sukses menggambarkan sosok pemimpin dengan cara
siapapun yang bisa memiliki dan menguasai kedua keris tersebut. Bukan menguasai
wadagnya saja tetapi jiwa keris itu telah luluh dalam diri seseorang. Sifat-sifat
keris yang sudah mendarah daging dalam benak seseorang, dialah pemimpin. Seorang
yang dicintai, disegani, disuyudi oleh rakyatnya dan memiliki watak seperti
lautan tanpa mengaku-aku sehingga tidak perlu diiklankan ataupun dibangun
citranya. Karena rakyat telah mengatahui citra dirinya. Seandainya para
pemimpin mau membaca karya beliau, mereka tidak akan berani mencitrakan diri
sebagai pemimpin. Karena keris Nagasasra dan Sabuk Inten tidak luluh dalam jiwa
mereka.
Mungkin sekarang novel itu tidak populer, apalagi dalam
jagad sastra Indonesia. Tetapi harus saya akui bahwa salah satu sumber wawasan
sastra yang saya miliki adalah beliau dengan karya-karyanya. Karya yang tidak
populer hingga pesan-pesan nasionalismenya pun tidak populer. Sayang sekali,
maestro sebesar itu tidak diakui angkatan sastra manapun.
Banyumas, 12 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar