Mama, panggilan itu kualamatkan pada seorang wanita paruh
baya, yang melahirkanku dan merawatku sejak kecil. Mungkin panggilan itu tidak
begitu lazim di daerah Banyumas. Umumnya panggilan untuk ibu adalah mboke, atau simbok seperti yang dilakukan kakak-kakakku. Entah kenapa panggilan
Mama lebih menarik buatku. Mungkin aku termasuk generasi muda yang lupa dengan adat
mbanyumasan. Ah biarlah, kukira
apapun panggilannya ia tetap wanita yang melahirkanku. Dan ia tidak protes.
Mama, kadangkala kutambahkan menjadi Mamah. Lebih sexy menurutku. Wanita ini kukenal sepanjang
usiaku. Seperempat abad lebih. Bukan waktu yang singkat. Tetapi kurasa aku tak
banyak mengenalnya dengan baik. Selama ini, Mama bagiku adalah orang yang memasak
dan menyiapkan makanan untuk keluarga, memberiku uang saku saat kecil,
menjahitkan baju lebaranku-kebetulan beliau seorang penjahit-dan terkadang baju
miliknya sering tidak jadi saat lebaran, saat orang-orang sibuk fasion show baju lebaran, Mama kerap memakai baju lebaran tahun lalu. Mama
jugalah yang melayani semua keperluan ayahku dengan taatnya.
Mama belajar menjahit sejak kecil. Belajar dari tantenya,
adik nenekku. Selepas sekolah dasar ia memilih tetap menjahit daripada
meneruskan sekolah karena adiknya banyak dan keluarga nenekku tak memiliki
biaya yang cukup untuk menyekolahkannya dan adik-adiknya. Ia terus menjahit
sampai usia limapuluhan. Aku tahu pendapatannya dari menjahit ikut
menyelamatkan asap dapur rumah kami. Selain sebagai penjahit, Mama juga seorang
baby sister. Tentu bukan baby sister dalam artian yang sebenarnya.
Beliau sejak kecil terbiasa mengasuh adik-adiknya, merawat kakeknya, sering
pula dititipi ponakannya-anak dari adik ibunya atau anak dari adik-adiknya-
yang ditinggal pasar atau mengajar dengan kondisi anak masih belum mandi dan
belum makan. Mama merawat mereka sampai dijemput ibunya masing-masing hingga
anak-anak itu terbiasa makan di rumahku seperti di rumah sendiri. Sekarangpun
Mama merawat ponakanku sejak bayi. Jika ibunya mengajar dan ayahnya ke pasar
Mama lah yang merawat mereka.
Mama, sampai sekarangpun hanya hal-hal semacam itulah yang beliau
kerjakan. Mama adalah ibu rumah tangga sejati, penjahit sejak kecil, dan perawat
kami serta ponakan, dan cucunya. Beliau bukanlah seorang aktivis ibu-ibu
kampung, bukan pula ibu-ibu yang suka bergosip. Acara yang kerap dihadiri hanya
arisan ibu-ibu Rt, pengajian muslimatan itupun kalau beliau benar-benar tidak
ada kepentingan keluarga dan mendapat ijin dari ayahku. Selebihnya beliau di
rumah tidak kemana-mana. Seorang wanita rumahan, dengan pengalaman yang minim
tentunya.
Sejak kecelakaan, aku punya lebih banyak waktu untuk
berbincang dengannya. Kadang aku sengaja menemaninya berbincang. Tentang apapun.
Sebelumnya Mama selalu sibuk dengan pekerjaan rumahtangganya dan aku bukanlah
anak yang dekat dengannya. Sejak banyak berbincang dengannya, timbul satu
pertanyaan dihatiku apakah Mamaku seorang manusia atau robot yang patuh dengan
semua perintah untuknya, dari ayahku, dari anak-anaknya, dari adik-adiknya.
Betapa kuatnya wanita ini. Manusiakah ia Tuhan?
Aku menginsyafi satu hal, Mama pun manusia seperti umumnya.
Seorang wanita paruh baya yang tentu memiliki keinginan. Keinginan seorang
wanita pada umumnya, keinginan untuk bergaul dan bersosialisasi dengan
sebayanya, dan keinginan untuk diperlakukan sebagaimana manusia selayaknya.
Manusia yang memiliki hak untuk dihormati, dihargai, diperlakukan sama, dipuji
dan sederet sikap kemanusiaan lainnya. Rupanya selama ini aku tidak pernah
melakukan hal itu. Karena selama ini Mama adalah mamaku yang bertugas
mengurusku, menyiapkan makan, membereskan rumah, mematuhi perintah ayahku. Itu
tugasnya, kewajibannya yang tidak bisa ditawar. Bahkan urusan doa mendoakan
adalah tugas Mama juga. Sampai aku tidak menyadari betapa pentingnya doa
seorang manusia yang kupanggil Mama.
Jikapun aku selama ini mencintainya, menghormatinya adalah
semata atas nama hubungan kekerabatan yang bernama ibu-anak. Sebuah hubungan
yang mewajibkan satu pihak untuk menghormati dan pihak lain wajib menyayangi.
Kewajiban yang seolah-olah tidak bisa ditawar-tawar. Sebuah penghormatan
kekerabatan yang seringkali menimbulkan ketidakobyektifan karena rasa sensitif
yang bersifat subyektif lebih mendominasi. Terkadang malah kewajiban yang membutakan
kesadaran atas arti sesungguhnya dibalik kewajiban itu. Tak pernah terfikirkan
bahwa penghormatanku pada wanita itu atas nama manusia dengan manusia.
Wanita yang kusebut Mama demikian patuh dengan kewajibannya,
merawat kami sekeluarga, mendoakan kami siang malam. Dan satu lagi kemampuan
hebatnya, mampu menyimpan rahasia, kegetiran hidup,dan kekecewaan hidup dalam
hatinya. Mama dengan pengalaman pas-pasan mampu melakukan hal itu semua.
Terkadang memang menjadikannya kurang bijak sewaktu-waktu, tetapi dengan
setumpuk kewajiban, tanggung jawab, serta hubungan kekerabatan yang saling kait
mengait bukankah kebijakan menjadi barang kabur yang sulit ditangkap akal dan
hati manusia.
Ah, Mama juga manusia yang memiliki keutuhan. Selama ini
hubungan ibu-anak telah membutakanku. Aku melihatnya bekerja seperti sudah
semestinya. Tak pernah terfikirkan manusia yang sanggup bekerja sepertinya
adalah manusia luar biasa. Aku Tak pernah melihat hubunganku dengannya sebagai hubungan manusia dengan manusia.
Hubungan antar dua jiwa, dua hati, antar dua makhluk, antar dua individu, dua
kepala, dua keinginan, dua perbedaan. Hubungan yang tidak terbingkai pada kotak
bernama ibu-anak tetapi lebih luas lagi hubungan antar dua makhluk ciptaan
Tuhan Maha Sempurna. Tuhan, Mamaku juga manusia.
Banyumas, 9 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar