Selasa, 12 Maret 2013

Suky Zhang Hingga Pendidikan Ala China


ngopi bareng suky

Namanya Suky Zhang, kewarganegaraan Cina usianya masih 19 tahun. Aku mengenalnya pertengahan tahun lalu kira-kira Juli 2012. Dia datang ke pesantren Nurul Ummahat, Kotagede untuk mengajar. Singkatnya student exchange, dan dia ditempatkan di Indonesia, di Nurul Ummahat. Dia lucu, imut, dan cantik. Awalnya dia perlu adaptasi masalah bangun pagi, dia biasa bangun jam 8 pagi sedang kami biasanya sekitar jam 4 s.d 5 pagi. Selain itu dia juga perlu menyesuaikan makan. Dia tidak biasa makan nasi saat sarapan biasanya hanya sayur atau teh. Oh ya, dia tidak punya Tuhan. “Lalu apa yang kamu percayai?”, tanyaku waktu itu. “ Sains,” jawabnya. Tetapi perkara Tuhan bukanlah sains atau logika semata ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, namanya iman. Aku hanya membatin. 

Dia tingal di tempat kami kira-kira 1 bulan dan sejak awal sudah menyusun jadwal kegiatannya selama satu bulan. Bahkan sampai memasuki bulan Ramadhan. Saat itu dia mencoba ikut berpuasa satu hari. Dia tidur seharian dan saat berbuka makan banyak sekali. Lucu melihatnya kelaparan seperti itu. Aksi puasanya jadi berita di Harian Tribunnews Jogja. Dia menangis terharu. Yang lebih lucu lagi saat kuminta berdoa untukku. Jadi saat itu aku lupa kalau dia atheis dan aku memintanya untuk mendoakan supaya keinginanku tercapai. Dan ia menyangggupi. Aku sadar akan perbuatanku, lalu kutanyakan pada siapa akan meminta bukankah tidak punya Tuhan untuk dimintai. “ Aku tidak tahu, pokoknya aku akan mendoakanmu.” Dalam hati aku ketawa. Aneh-aneh aja orang atheis, yang mengaku logikanya jalan. Memang pencari Tuhan bukan hanya orang yang sudah punya Tuhan justru orang atheis adalah pencari Tuhan sejati hanya saja mereka tidak menemukannya , begitu kata para peneliti Tuhan. 

Awalnya Suky mengajar bahasa Inggris untuk kami, tetapi karena ternyata bahasa Inggris kami sudah lumayan baik akhirnya ia mengajar bahasa Cina dan dia kami ajari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dia selalu tepat waktu dan berapapun yang hadir dia tetap mengajar. Dia ketat dengan jadwalnya meskipun akhirnya amburadul karena menyesuaikan dengan kami atau kami sengaja mengajaknya ngobrol lama-lama dan disuguhi berbagai makanan. Akhirnya dia bisa menyesuaian makan nasi sehari tiga kali bahkan akhirnya jadi gemuk. Menurutnya kehidupan kami sangat sederhana. Kami menjalani hidup dengan santai (secukupnya) dan kemudian selalu berdoa (bersembahyang). Di negaranya orang berlomba-lomba untuk bekerja mencari uang dan belajar giat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Dan tidak punya waktu untuk berdoa. Yah, China kan negara Komunis bahkan agama Budha yang dianut sebagian pemeluknya bukan sebagai agama, tetapi hanya sebuah kepercayaan saja kata Suky Zhang. Ada juga sih yang beragama Islam disana, tentunya minoritas. 

Aku pikir bagaimanapun minoritas tetapi ada satu hal yang sangat menonjol di China yakni masalah pendidikan. Bahkan gadis seusia Suky sudah punya murid. Jadi ceritanya dia mengajar anak-anak kecil dari golongan tidak mampu dan itu sebuah kerja sosial. Aku bayangkan usia 19 ku masih penuh bermain kesana kemari. Jangankan punya murid, pendidikanku sendiri tidak begitu kupedulikan. Itulah kenapa China begitu maju pendidikannya. Kepedulian masyarakatnya akan pendidikan tinggi. Konon, seorang murid jika melewati gedung tempat mereka belajar akan menunduk hormat. Betapa tinggi penghargaan mereka pada pendidikan. Pantas Tuhan menganugerahi rahmat berupa negara yang maju dan sejahtera pada China, betapa mereka sangat hormat pada ilmu. Di Indonesia jangankan menghormat gedung, gurunyapun tidak dihormat bagaimana ilmu bisa membuahkan. Bahkan di negara kita malah ribut-ribut perkara menghormat bendera saat upacara dianggap syirik. Bagaimana kita bisa maju sedang generasi mudanya tidak ada penghormatan pada tanah airnya. 

Teringat sebuah kisah dalam sebuah kitab. Tersebutlah dua orang anak muda yang pergi menuntut ilmu. Beberapa tahun kemudian keduanya pulang ke negaranya. Anehnya yang satu menjadi ulama yang sangat dihormati sedang yang satunya tidak. Padahal keduanya menempuh ilmu yang sama dan dalam waktu yang sama. Selidik punya selidik ternyata pemuda yang jadi ulama itu ketika belajar untuk mengulang ilmunya dia selain menjaga wudhunya (selalu dalam keadaan suci) juga selalu mengahadap ke arah kota tempat ia menuntut ilmu. Sedangkan pemuda yang tidak menjadi ulama, saat mengulang pelajarannya dia selalu membelakangi kota tempat menuntut ilmu. Jelas kan, para ulama shalaf telah membuktikan bahwa menuntut ilmu bukan hanya perkara jadi pandai atau tidak tetapi yang lebih penting justru etika dan penghormatan yang ditujukan tidak hanya pada ilmunya tetapi segala yang terkait dengan ilmu. Yakni guru, teman, dan buku dan lain halnya. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa ilmu itu cahaya. Hanya hati yang bersih yang bisa menerima cahaya. Tentu saja hati yang bersih itu tidak hanya milik murid saja, gurunya pun harus berhati bersih, dalam artian tulus, mendidik dengan benar dan baik.

Mungkinkah Indonesia bisa memperbaiki pendidikannya. Sedangkan masih sering saja terjadi saat penilaian raport guru-guru supaya menaikan nilai murid supaya sesuai standar padahal kemampuan murid dibawah standar. Bukankah itu penanaman bibit-bibit korupsi, ketidakjujuran, ketidaktulusan, dan menjadikan murid enggan untuk bekerja keras dan tekun dengan ilmunya. Sering kita menuntut murid untuk menjadi juara, nilainya baik dan kita lupa untuk mengatakan bahwa untuk mencapainya jalan yang ditempuh pun harus baik dan benar. Meskipun harus jatuh berkali-kali itu lebih baik, bukankah belajar selalu dari kesalahan. Kalau sudah benar apa yang harus dipelajari? 

Tetapi mungkinkah, kita bisa memperbaikinya sedangkan sistem pendidikan kita menuntut untuk nilai dengan standar tertentu yang itu membuat guru kelabakan hingga memilih jalan pintas karna tidak siap mengalamai yang namanya jatuh, mukanya tercoreng, atau imagenya jadi buruk. Yah, orde baru cukup sukses mencuci otak kita untuk selalu tampil baik, pokoknya asal bos senang. Kenapa jadi menyalahkan orde baru yang sudah lewat. Jangan-jangan tulisanku pun akan jadi tulisan yang cuma lewat saja. Pepatah mengatakan, kota Roma tidak dibangun hanya dalam waktu semalam? (habisnya tidak minta bantuan Bandung Bondowoso sih,,hehe). Dan bukankah 1000 langkah selalu dimulai dari satu langkah kecil. Anggaplah tulisanku adalah satu langkah kecil itu. Masih ada kesempatan bukan,, mari beroptimis ria. Berangkat, satu, dua, tiga. Go..!

Oh ya masih ada yang ingin kutulis. Di negeri China pendidikan yang diterapkan berakar pada ajaran filsafat lokal China sendiri. China lebih memilih untuk mengakarkan pendidikannya pada budaya lokal supaya pelajarnya tahu budaya akarnya sendiri. Salah satunya berpegang pada 1 nasehat dari Konfusius sebagai berikut: “ Bila guru menugaskan murid melakukan sesuatu, laksanakan jangan mencari alasan untuk menunda apalagi menolak. Bila guru memberi nasehat dan petunjuk, dengarkan dan ikuti dengan perbuatan. Guru mengajarkan ilmu dan budi pekerti, serta nasehat yang menyelamatkan kehidupan murid.” 

Sederhana bukan, dan  bukankah Indonesia kaya akan nasihat-nasihat filosofis yang penuh budi pekerti yang mengakar pada Pancasila. Ayo,, berangkat bersama sekarang. Satu, dua, tiga. Go, go, go..!

Save education, save Indonesia..!

Banyumas, 12 Maret 2013; 01:43

4 komentar:

  1. sayangnya, nilai moral murid sangat rendah, bahkan menjadi nakal dan tidak bermoral adalah salah satu kelebihan untuk dibanggakan. "itu gue, klu maunya begitu ya urusan elo" -> GAUL.

    BalasHapus
    Balasan
    1. banyak faktor sih, kalau mau diurai jadi panjang buntutnya. bukan hanya satu pihak aja yang mempengaruhi. sistem, budaya, mind set kita. soanya nilai moral murid yang rendah itu juga bukan semata2 kesalahan murid, tentunya yang lebih tua yang pantas disalahkan. seorang murid kan baru belajar, gurunya yang harusnya lebih tahu. wah, panjang deh kalau mau diurai.hehe

      Hapus
  2. oya, mbak, artikel yang ini ijin share ya,
    trimz

    BalasHapus