ngopi bareng suky |
Namanya Suky Zhang, kewarganegaraan Cina usianya masih 19
tahun. Aku mengenalnya pertengahan tahun lalu kira-kira Juli 2012. Dia datang
ke pesantren Nurul Ummahat, Kotagede untuk mengajar. Singkatnya student exchange, dan dia ditempatkan di Indonesia, di Nurul Ummahat. Dia lucu,
imut, dan cantik. Awalnya dia perlu adaptasi masalah bangun pagi, dia biasa bangun
jam 8 pagi sedang kami biasanya sekitar jam 4 s.d 5 pagi. Selain itu dia juga
perlu menyesuaikan makan. Dia tidak biasa makan nasi saat sarapan biasanya
hanya sayur atau teh. Oh ya, dia tidak punya Tuhan. “Lalu apa yang kamu
percayai?”, tanyaku waktu itu. “ Sains,” jawabnya. Tetapi perkara Tuhan
bukanlah sains atau logika semata ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan
logika, namanya iman. Aku hanya membatin.
Dia tingal di tempat kami kira-kira 1 bulan dan sejak awal
sudah menyusun jadwal kegiatannya selama satu bulan. Bahkan sampai memasuki
bulan Ramadhan. Saat itu dia mencoba ikut berpuasa satu hari. Dia tidur
seharian dan saat berbuka makan banyak sekali. Lucu melihatnya kelaparan
seperti itu. Aksi puasanya jadi berita di Harian Tribunnews Jogja. Dia menangis terharu.
Yang lebih lucu lagi saat kuminta berdoa untukku. Jadi saat itu aku lupa kalau
dia atheis dan aku memintanya untuk mendoakan supaya keinginanku tercapai. Dan ia
menyangggupi. Aku sadar akan perbuatanku, lalu kutanyakan pada siapa akan
meminta bukankah tidak punya Tuhan untuk dimintai. “ Aku tidak tahu, pokoknya
aku akan mendoakanmu.” Dalam hati aku ketawa. Aneh-aneh aja orang atheis, yang
mengaku logikanya jalan. Memang pencari Tuhan bukan hanya orang yang sudah
punya Tuhan justru orang atheis adalah pencari Tuhan sejati hanya saja mereka
tidak menemukannya , begitu kata para peneliti Tuhan.
Awalnya Suky mengajar bahasa Inggris untuk kami, tetapi
karena ternyata bahasa Inggris kami sudah lumayan baik akhirnya ia mengajar
bahasa Cina dan dia kami ajari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dia selalu
tepat waktu dan berapapun yang hadir dia tetap mengajar. Dia ketat dengan
jadwalnya meskipun akhirnya amburadul karena menyesuaikan dengan kami atau kami
sengaja mengajaknya ngobrol lama-lama dan disuguhi berbagai makanan. Akhirnya dia
bisa menyesuaian makan nasi sehari tiga kali bahkan akhirnya jadi gemuk. Menurutnya
kehidupan kami sangat sederhana. Kami menjalani hidup dengan santai
(secukupnya) dan kemudian selalu berdoa (bersembahyang). Di negaranya orang
berlomba-lomba untuk bekerja mencari uang dan belajar giat memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya. Dan tidak punya waktu untuk berdoa. Yah, China kan negara
Komunis bahkan agama Budha yang dianut sebagian pemeluknya bukan sebagai agama,
tetapi hanya sebuah kepercayaan saja kata Suky Zhang. Ada juga sih yang
beragama Islam disana, tentunya minoritas.
Aku pikir bagaimanapun minoritas tetapi ada satu hal yang
sangat menonjol di China yakni masalah pendidikan. Bahkan gadis seusia Suky
sudah punya murid. Jadi ceritanya dia mengajar anak-anak kecil dari golongan
tidak mampu dan itu sebuah kerja sosial. Aku bayangkan usia 19 ku masih penuh
bermain kesana kemari. Jangankan punya murid, pendidikanku sendiri tidak begitu
kupedulikan. Itulah kenapa China begitu maju pendidikannya. Kepedulian masyarakatnya
akan pendidikan tinggi. Konon, seorang murid jika melewati gedung tempat mereka
belajar akan menunduk hormat. Betapa tinggi penghargaan mereka pada pendidikan.
Pantas Tuhan menganugerahi rahmat berupa negara yang maju dan sejahtera pada
China, betapa mereka sangat hormat pada ilmu. Di Indonesia jangankan menghormat
gedung, gurunyapun tidak dihormat bagaimana ilmu bisa membuahkan. Bahkan di
negara kita malah ribut-ribut perkara menghormat bendera saat upacara dianggap
syirik. Bagaimana kita bisa maju sedang generasi mudanya tidak ada penghormatan
pada tanah airnya.
Teringat sebuah kisah dalam sebuah kitab. Tersebutlah dua
orang anak muda yang pergi menuntut ilmu. Beberapa tahun kemudian keduanya
pulang ke negaranya. Anehnya yang satu menjadi ulama yang sangat dihormati
sedang yang satunya tidak. Padahal keduanya menempuh ilmu yang sama dan dalam
waktu yang sama. Selidik punya selidik ternyata pemuda yang jadi ulama itu ketika
belajar untuk mengulang ilmunya dia selain menjaga wudhunya (selalu dalam
keadaan suci) juga selalu mengahadap ke arah kota tempat ia menuntut ilmu. Sedangkan
pemuda yang tidak menjadi ulama, saat mengulang pelajarannya dia selalu
membelakangi kota tempat menuntut ilmu. Jelas kan, para ulama shalaf telah
membuktikan bahwa menuntut ilmu bukan hanya perkara jadi pandai atau tidak
tetapi yang lebih penting justru etika dan penghormatan yang ditujukan tidak
hanya pada ilmunya tetapi segala yang terkait dengan ilmu. Yakni guru, teman,
dan buku dan lain halnya. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa ilmu itu cahaya.
Hanya hati yang bersih yang bisa menerima cahaya. Tentu saja hati yang bersih
itu tidak hanya milik murid saja, gurunya pun harus berhati bersih, dalam
artian tulus, mendidik dengan benar dan baik.
Mungkinkah Indonesia bisa memperbaiki pendidikannya. Sedangkan
masih sering saja terjadi saat penilaian raport guru-guru supaya menaikan nilai
murid supaya sesuai standar padahal kemampuan murid dibawah standar. Bukankah itu
penanaman bibit-bibit korupsi, ketidakjujuran, ketidaktulusan, dan menjadikan
murid enggan untuk bekerja keras dan tekun dengan ilmunya. Sering kita menuntut
murid untuk menjadi juara, nilainya baik dan kita lupa untuk mengatakan bahwa
untuk mencapainya jalan yang ditempuh pun harus baik dan benar. Meskipun harus
jatuh berkali-kali itu lebih baik, bukankah belajar selalu dari kesalahan. Kalau
sudah benar apa yang harus dipelajari?
Tetapi mungkinkah, kita bisa memperbaikinya sedangkan sistem
pendidikan kita menuntut untuk nilai dengan standar tertentu yang itu membuat
guru kelabakan hingga memilih jalan pintas karna tidak siap mengalamai yang
namanya jatuh, mukanya tercoreng, atau imagenya jadi buruk. Yah, orde baru
cukup sukses mencuci otak kita untuk selalu tampil baik, pokoknya asal bos
senang. Kenapa jadi menyalahkan orde baru yang sudah lewat. Jangan-jangan
tulisanku pun akan jadi tulisan yang cuma lewat saja. Pepatah mengatakan, kota
Roma tidak dibangun hanya dalam waktu semalam? (habisnya tidak minta bantuan
Bandung Bondowoso sih,,hehe). Dan bukankah 1000 langkah selalu dimulai dari satu
langkah kecil. Anggaplah tulisanku adalah satu langkah kecil itu. Masih ada
kesempatan bukan,, mari beroptimis ria. Berangkat, satu, dua, tiga. Go..!
Oh ya masih ada yang ingin kutulis. Di negeri China
pendidikan yang diterapkan berakar pada ajaran filsafat lokal China sendiri. China
lebih memilih untuk mengakarkan pendidikannya pada budaya lokal supaya
pelajarnya tahu budaya akarnya sendiri. Salah satunya berpegang pada 1 nasehat
dari Konfusius sebagai berikut: “ Bila guru menugaskan murid melakukan sesuatu,
laksanakan jangan mencari alasan untuk menunda apalagi menolak. Bila guru
memberi nasehat dan petunjuk, dengarkan dan ikuti dengan perbuatan. Guru mengajarkan
ilmu dan budi pekerti, serta nasehat yang menyelamatkan kehidupan murid.”
Sederhana bukan, dan
bukankah Indonesia kaya akan nasihat-nasihat filosofis yang penuh budi
pekerti yang mengakar pada Pancasila. Ayo,, berangkat bersama sekarang. Satu,
dua, tiga. Go, go, go..!
Save education, save Indonesia..!
Banyumas, 12 Maret 2013; 01:43
sayangnya, nilai moral murid sangat rendah, bahkan menjadi nakal dan tidak bermoral adalah salah satu kelebihan untuk dibanggakan. "itu gue, klu maunya begitu ya urusan elo" -> GAUL.
BalasHapusbanyak faktor sih, kalau mau diurai jadi panjang buntutnya. bukan hanya satu pihak aja yang mempengaruhi. sistem, budaya, mind set kita. soanya nilai moral murid yang rendah itu juga bukan semata2 kesalahan murid, tentunya yang lebih tua yang pantas disalahkan. seorang murid kan baru belajar, gurunya yang harusnya lebih tahu. wah, panjang deh kalau mau diurai.hehe
Hapusoya, mbak, artikel yang ini ijin share ya,
BalasHapustrimz
ok silahkan :)
Hapus